Senin, 15 April 2013

pengertian dialek dan idiolek



A.     Pengertian Idiolek
Bila kita membandingkan bahasa seseorang dengan bahasa seorang yang lain, maka akan tampak bahwa setiap orang memiliki beberapa keistimewaan yang tidak dimiliki orang lain, walaupun mereka sama-sama anggota dari suatu masyarakat bahasa. Abiq dalam kebiasaan sehari-harinya suka mengucapkan kata "ya kan", sedangkan temannya Imron tidak suka dengan kebiasaan seperti itu. Pilihan kata pun dalam mengungkapkan sesuatu berbeda antara satu orang dengan orang yang lain, namun mereka sebenarnya pemakai satu bahasa, perbendaharaan dari satu bahasa. Tutur kata setiap anggota masyarakat bahasa yang ditandai perbedaan-perbedaan kecil semacam itu disebut idiolek.[1]
Idiolek adalah varitas bahasa yang bersifat peseorangan. Menurut konsep idiolek, setiap orang mempunyai varitas bahasanya, atau idioleknya masing-masing. Idiolek ini berkenaan dengan warna suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya. Namun yang paling dominan adalah warna suara, sehingga jika kita cukup akrab dengan seseorang, hanya dengan mendengar suara bicaranya tanpa melihat orangnya, kita dapat mengenalinya. Mengenali idiolek seseorang dari bicaranya memang lebih mudah daripada melalui karya tulisnya. Masing-masing orang memiliki idiolek yang berbeda-beda. Namun kalau kita sering membaca karya Hamka, Alisjahbana, atau Shakespeare, maka pada suatu waktu kelak bila kita menemui selembar karya mereka, meskipun ticantumkan nama mereka makan kita dapat mengenali lembaran itu karya siapa.
Kalau setiap orang memiliki idoleknya masing-masing, maka apakah berarti idiolek itu menjadi banyak? Ya, memang demikian, bila ada 1000 orang penutur maka akan ada 1000 idiolek dengan cirinya masing-masing yang meskipun sangat kecil atau sedikit cirinya itu, tetapi masih tetap menunjukkan idioleknya. Dua orang kembar pun warna suaranya yang menandai idioleknya masih dapat dibedakan.[2]

B.     Pengertian Dialek
Penggunaan istilah dialek dan bahasa dalam masyarakat umum memang seringkali bersifat ambigu. Secara linguistik jika masyarakat tutur masih saling mengerti maka alat komunikasinya adalah dua dialek dari bahasa yang sama. Namun, secara politis, meskipun dua masyarakat tutur bisa saling mengerti karena kedua alat komunikasi verbalnya mempunyai kesamaan sistem dan subsistem tetapi keduanya dianggap sebagai dua bahasa yang berbeda, contohnya bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia yang secara linguistic adalah sebuah bahasa tetapi secara politis dianggap sebagai dua bahasa yang berbeda.[3]
Dialek adalah variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berbeda dari satu tempat wilayah atau area tertentu (menurut Abdul Chaer). Sedangkan menurut bahasa yunani dialek disebut dialektos yang berarti varian dari sebuah bahasa menurut pemakai. Pemberian dialek berdasarkan factor geografi dan social. Dialek dibedakan berdasarkan kosa kata, tata bahasa, dan pengucapan. Jika pembedaannya hanya berdasarkan pengucapan, maka disebut aksen.
Dapat disimpulkan bahwa dialek adalah variasi bahasa dari sekelompok penutur yang berbeda dengan kelompok penutur lain berdasarkan atas letak geografi, faktor sosial, dan lain-lain. Ilmu yang mempelajari dialek disebut dialektologi yaitu bidang studi yang bekerja dalam memetakan batas dialek dari suatu bahasa.[4]

C.    Asal Usul Dialek
Menurut Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983) pertumbuhan dan perkembangan dialek sangat oleh faktor kebahasaan dan faktor luar bahasa, seperti keadaan alam misalnya memperngaruhi ruang gerak, penduduk setempat, mempermudah penduduk berkomunikasi dengan dunia luar maupun mengurangi adanya kemungkinan itu (Guiraud, 1970) sejalan dengan adanya alam tersebut dapat dilihat pula adanya batas-batas politik menjadi jembatan terjadinya pertukaran budaya. Hal ini menjadi salah satu sarana terjadinya pertukaran bahasa. Demikian pula halnya masalah ekonomi, cara hidup dan sebaginya. Tercermin pula di dalam dialek yang bersangkutan (Guiraud, 1970).
Menurut Guiraud yang dikutip oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983) terjadinya ragam dialek itu disebabkan oleh adanya hubungan dan keunggulan bahasa yang terbawa ketika terjadinya perpindahan penduduk, penyerbuaan atau penjajahan. Hal yang tidak boleh dilupakan ialah peranan dialek atau bahasa yang betentangan proses suatu terjadinya dialek itu. Dari dialek dan bahasa yang bertentangan itu anasir kosakata, struktur, dan cara pengucapan atau lafal.
Setelah itu kemudian ada di antara dialek tersebut yang diangkat menjadi bahasa baku, maka peranan bahasa baku itu pun tidak boleh dilupakan. Sementara pada gilirannya bahasa baku tetap terkena pengaruh baik dari dialeknya ataupun bahasa tetangganya. Selanjutnya dialek berkembang menuju dua arah yaitu, perkembangan membaik dan perkembangan memburuk. 
Menurut Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983) bahasa sunda di kota Bandung dijadikan bahasa sekolah yang dianggap sebagai bahasa Sunda baku. Hal tersebut didasarkan kepada faktor obyektif dan subyektif. Secara obyektif memang harus diakui bahawa bahasa Sunda kota bandung memberikan kemungkinan lebih besar untuk dijadikan bahasa sekolah kemudian sebagai bahasa suda bak. hal ini merupakan dialek bahasa Sunda mengalami perkembangan membaik.
  Menurut Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983) memberi contoh perkembangan dialek yang memburuk sebagai berikut. Pada lima tahun yang lalu penduduk kampung legok (Indramayu) masih berbicara bahasa Sunda sekarang penduduk kampong tersebut hanya dapat mempergunakan bahasa Jawa-Cirebon. Dengan kata lain, bahasa Sunda di kampung itu  sekarang telah lenyap dan kelenyapan itu merupakan keadaan yang paling buruk. Fakta itu merupakan perkembangan memburuk suatu bahasa atau dialek.[5]


D.    Jenis Dialek
Berdasarkan pemakaian bahasa, dialek dibedakan menjadi berikut.:
1)      Dialek regional
Varian bahasa yang dipakai di daerah tertentu. Misalnya, bahasa Melayu dialek Ambon, dialek Jakarta, atau dialek Medan.
2)      Dialek sosial
Dialek yang dipakai oleh kelompok sosial tertentu atau yang menandai strata sosial tertentu. Misalnya, dialek remaja.
3)      Dialek temporal
Dialek yang dipakai pada kurun waktu tertentu. Misalnya, dialek Melayu zaman Sriwijaya dan dialek Melayu zaman Abdullah.

E.     Dialek sosial
Dialek seperti yang sudah kita bahas di atas adalah perbedaan bentuk-bentuk dari satu bahasa yang menjadi ciri dari daerah-daerah atau kelas-kelas sosial tertentu dan yang masih cukup besar persamaan-persamaannya, sehingga orang masih dapat saling memahami. Studi mengenai dialek disebut sebagai sosiolingustik. Secara teknis, semua dialek adalah bahasa, tidak ada sesuatu yang bersifat parsial atau sublinguistis pada dialek dan batas dimana dua dialek yang berbeda itu menjadi dua bahasa yang terpisah, pada garis besarnya adalah batas dimana orang-orang yang berbicara dalam dialek yang satu hampir sama sekali tidak dapat berkomunikasi dengan orang yang berdialek lain.
Konsep dialek sosial ini dipakai dalam menganalisis penyebaran bahasa lokal di Indonesia. Menyebarnya bahasa lokal ke daerah lain di Indonesia menyebabkan bertemunya dua dialek yang berbeda dari masyarakat. Perpaduan dialek dalam penyebaran bahasa lokal akan membawa perubahan kebudayaan dalam aktivitas sehari-harinya. Karekteristik pembawaan dari kelompok pendatang akan benar-benar terlihat dalam melakukan komunikasi dengan penduduk aslinya. Dengan demikian penyebaran bahasa lokal ini mungkin dapat dipelajari dari kultur dialek sosial yang terjadi di masyarakat. Penyamaan presepsi makna bahasa dan juga penentuan batas-batas dialek dalam komunikasi menjadi kunci dalam menyelesaikan perbedaan dilek.
Disamping masalah besar untuk menentukan batas-batas dialek dan usaha untuk memastikan apakah perbedaan linguistik dalam penyebaran bahasa lokal juga mencerminkan kebudayaan. Dalam penyebaran bahasa lokal juga ada masalah mengapa orang yang komunitas yang sama juga terpengaruh dengan dialek pendatang dan mereka menggunakan dialek yang berbeda. Sebaliknya ada pula yang berbeda dialeknya menggunakan bahasa yang sama dalam berkomunikasi. Yang paling terpenting adalah ketika melakukan dialek dengan bahasa yang berbeda harus mampu mengikuti makna yang akan di bicarakan. Kata-kata yang dipakai sangat tidak mengandung unsur tabu. Jadi Penyebaran bahasa lokal juga akan mempengaruhi dialek dari suatu daerah. Bila dilihat dari persebaran bahasa tersebut di atas, maka terdapat kesamaan tentang asal usul bahasa Indonesia.[6]
Untuk menganalisis permasalahan mengenai bahasa ini, para ahli antropologi harus mengumpulkan data tentang:
a)      Ciri-ciri yang menonjol dari bahasa suku bangsa dapat dikaji dengan jalan mengklasifikasi  bahasa-bahasa sedunia pada rumpun, subrumpun, keluarga, dan subkeluarga bahasa yang ada, dengan beberapa contoh yang diambil dari bahan ucapan bahasa sehari-hari. Akan lebih baik bila peneliti dapat melengkapi daftar kata-kata dasar (basic vocabulary) suatu bahasa mengenai anggota badan (kepala, mata, hidung, tangan, kaki, dan sebagainya), fenomena-fenomena alam (angin, hujan, panas, dingin, matahari, bulan, awan, langit, dan sebagainya), warna, bilangan, kata kerja pokok (makan, tidur, jalan, berdiri, dan sebagainya).
b)      Menentukan luas batas penyebaran suatu bahasa memang tidak mudah, hal ini disebabkan karena di daerah perbatasan terjadi proses saling mempengaruhi antara unsur-unsur bahasa dari kedua belah pihak. Contoh: Penentuan daerah batas antara bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Bahasa di daerah perbatasan terjadi bahasa yang merupakan bahasa campuran. Batas antara kedua bahasa akan lebih jelas bila kedua suku bangsa terpisah oleh lautan, gunung, sungai, atau batas-batas alam lainnya.
c)      Variasi yang ditentukan oleh perbedaan daerah secara geografis terdapat pada suatu suku bangsa yang besar jumlahnya. Contoh: Bahasa Jawa yang diucapkan oleh orang Jawa di Purwokerto, di Tegal, di Yogyakarta, dan di Surabaya terdapat perbedaan logat (dialek) bahasa.
d)     Variasi menurut lapisan sosial dalam masyarakat Jawa yang sangat menonjol adalah terjadinya perbedaan bahasa menurut tingkatan sosial bahasa atau Social Levels of speech. Contoh:
a)   Bahasa Jawa yang dipakai oleh orang di desa.
b)   Bahasa Jawa yang dipakai oleh para pegawai (priyayi)
c)   Bahasa Jawa yang dipakai Kerabat Keraton (istana)
d)   Bahasa Jawa yang dipakai Kepala Swapraja di Jawa Tengah.
Kita mengetahui bahwa Negara Indonesia terdiri dari bermacam-macam suku bangsa dan bermacam-macam pula bahasa daerah yang digunakan, namun bangsa kita mempunyai bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia yang secara genealogis, artinya menurut asal-usul dan sejarah penurunannya. Bahasa Indonesia termasuk rumpun bahasa Austronesia.[7]
F.     Varitas Bahasa dari Segi Sosial Para Penuturnya
a.        Akrolek
Akrolek adalah ragam bahasa yang dianggap lebih tinggi dan bergengsi daripada ragam sosial lainnya. Misalnya, bahasa Bagongan, yaitu varitas bahasa Jawa yang khusus digunakan oleh para bangsawan keratin Jawa.
b.      Basilek
Basilek adalah ragam bahasa yang dianggap kurang bergengsi atau dipandang rendah dibandingkan dengan ragam-ragam sosial lainnya. Misalnya, bahasa Jawa “Krama Ndesa”. Atau bahasa Inggris, Spanyol, Perancis, Mandarin, dan Arab yang dinilai lebih rendah dibanding bahasa Inggris.
c.       Vulgar
Vulgar adalah varitas sosial yang ciri-cirinya digunakan oleh kelompok yang kurang terpelajar atau kurang berpendidikan. Misalnya, bahasa di Eropa dianggap bahasa vulgar oleh golongan intelek Romawi yang menggunakan bahasa Latin dalam segala kegiatan mereka.
d.      Slang
Slang merupakan varitas bahasa yang bersifat khusus atau rahasia yang hanya diketahui oleh golongan tertentu yang sangat terbatas dan tidak boleh diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu. Oleh karena itu, kosakata yang digunakan dalam slang selalu berubah-ubah. Karena slang ini bersifat kelompok dan rahasia, maka timbul kesan bahwa slang ini adalah bahasa rahasianya para pencoleng dan penjahat. Padahal sebenarnya tidaklah demikian.
Faktor kerahasiaan ini menyebabkan kosakata yang digunakan dalam slang seringkali berubah. Artinya, slang bersifat temporal, karena slang pada suatu saat akan dilupakan dan muncul slang lain yang lebih baru. Jadi, ciri khas slang adalah bidang kosakata, bukan fonologis tau gramatikal (morfologis dan sintaksis). Misalnya, prokem yang kosakatanya berubah-ubah.
e.       Kolokial
Kolokial merupakan varitas bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Kolokial berarti bahasa percakapan bukan bahasa tulis. Misalnya, ndak ada, prof., dok
f.        Jargon
Jargon (= Inggris:Jargon) adalah pemakaian bahasa dalam setiap bidang kehidupan. Setiap bidang keahlian, jabatan, lingkungan pekerjaan, masing-masing mempunyai bahasa khusus yang sering tidak mengerti oleh kelompok lain. Artinya, jargon merupakan varitas bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial tertentu secara terbatas. Ungkapan yang digunakan seringkali tidak dapat dipahami oleh masyarakat umum atau masyarakat di luar kelompoknya.
Namun, ungkapan-ungkapan tersebut tidak bersifat rahasia. Misalnya, Produser ada kata-kata cut, action,dan lain sebagainya.
g.       Argot
Argot merupakan varitas bahasa yang digunakan secara terbatas dan profesi tertentu yang bersifat rahasia. Letak kekhususan argot adalah pada kosakata. Misalnya, bahasa pencuri; tape adalah korban yang barangnya dicurih
h.      Ken
Ken adalah variasi sosial tertentu yang bernada memelas, dibuat-buat, merengek-rengek, dan penuh dengan kepura-puraan. Ken (= cant) ialah sejenis slang, tetapi sengaja dibuat untuk merahasiakan sesuatu kepada kelompok lain. Pada hal muda-mudi hal ini terasa sekali. Misalnya, bahasa pengemis.
i.        Glosolalia
Glosolalia adalah varitas ujaran yang dituturkan ketika orang sedang kesurupan (trance). Varitas bahasa ini lazim ditemukan pada bahasa dukun ketika bekerja, misalnya mengobati orang sakit.
j.        Rol
Rol adalah varitas bahasa yang dipergunakan seseorang ketika mengemban peran tertentu dalam suatu komunikasi.[8]


[1] www.wikipedia.com
[2] Chaer Abdul, Sosiolinguistik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h. 62-63
[3] Ibid., h. 63-64
[5] Nursaid. 200. Sosiolinguistik (Bahan ajar). Padang:Universitas Negeri Padang.
[6] Pateda, Mansoer. 2000. Sosiolinguistik. Bandung:Angkasa Bandung.
[7] Tressyalina. . Sosiolinguistik (Bahan Ajar). Padang:UNP.

[8] Chaer Abdul, Sosiolinguistik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h. 66-67

Tidak ada komentar:

Posting Komentar