A.
Pendahuluan
Menggunakan
kata kiasan dalam mengungkapkan sebuah ide merupakan gejala universal di semua
bahasa, Arab, Inggris, Indonesia, Belanda dan sebagainya. Bahasa Arab -tidak
bermaksud untuk megucilkan bahasa yang lain-nampaknya lebih sering menggunakan
kata-kata dalam bentuk kiasan. Menurut kajian ilmu-ilmu Balaghah, ungkapan
dalam bentuk majaz lebih berkesan daripada ungkapan hakiki. Berkesan di sini
dalam arti mempunyai nilai tinggi dan makna yang dalam karena tidak seperti
ungkapan-unkapan seperti biasanya. Misalnya, seseorang hendak memuji kebaikan
orang lain dengan berkata “sungguh, kau adalah malaikat bagiku.” Ekspresi ini
tentunya lebih bermakna dari pada mengatakan “kau sangat baik, telah membantuku
menyelesaikan masalah ini.” perumpamaan “malaikat” tentunya dimaksudkan untuk
mengungkapkan kebaikan yang sifatnya lebih dari pada sekadar dengan menyebut
“sangat baik”.
Hal ini
tidak hanya terjadi dalam percakapan sehari-hari, al-Qur’an juga banyak
menyuguhkan ungkapan-ungkapan kiasan dalam menyampaikan pesannya. Contohnya
pada surat al-Baqarah ayat 187,
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“makanlah
dan minumlah sehingga tampak jelas bagimu benang putih dari benang hitamnya
fajar, kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam.”
“Benang
putih dari benang hitamnya fajar” yang dimaksud dalam ayat ini bukan benang
dalam arti alat yang biasanya dipakai untuk menjahit, akan tetapi –sebagaimana
dijelaskan oleh Nabi dalam hadisnya-, bahwa maksud ayat ini adalah putihnya
siang dan hitamnya malam.
Sekilas,
memahami kata-kata kiasan dalam al-Qur’an terlihat tidak begitu sulit karena
masih ada hadis Nabi yang menjelaskannya. Lain halnya dengan ungkapan-ungkapan
majaz yang kemudian diucapkan oleh Nabi sendiri, siapa yang akan menjelaskannya
kalau Nabi tidak memberikan klarifikasi sendiri? Padahal di waktu yang
bersamaan fakta menunjukkan bahwa memang banyak ungkapan majaz ditemukan pada
hadis Nabi.
Mengatasi
problem ini, ulama hadis khususnya berinisiatif untuk menyusun beberapa kaidah
pemaknaan hadis yang salah satunya adalah makna hakiki dan majaz dalam hadis.
Memahami makna hakiki dan majazi juga menjadi salah satu step untuk bisa
memahami hadis. Oleh karena itu pula tulisan ini hadir di tengah-tengah para
calon muhaddis sebagai penyambung lidah dan penyampai informasi tentang
beberapa kajian ulama mengenai pemahaman makna hakiki dan majaz dimaksud dengan
harapan semoga bacaan sederhana ini bisa menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat.
B.
Pembahasan
Isti’aarah
Murasysyahah dan Isti’aarah Mujarradah
Isti’aarah
Murasysyahah yaitu isti’aarah yang disertai penyebutan kata-kata yang relevan
dengan musyabbah bih. Isti’aarh Mujarradah adalah isti’aarah yang
disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musyabbah
Seperti firman Allah :
أولئك الذين اشترو الضلالة بالهدى فما ربحت تجارتهم
Artinya
: mereka adalah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka
tidaklah beruntung perniagaannya. (Q.S Al-Baqarah : 16)
Kata
pembelian itu dipinjam untuk menunjukkan makna penggantian, kemudian
disambungkan dengan sesuatu yang
bersesuaian dengannya, yaitu laba dan perniagaan.
Al-Buhturi berkata :
يؤدون التحية من
بعيد # إلى قمر من الإيوان باد
Mereka
menyampaikan penghormatan dari kejauhan kepada bulan dari tempat yang tinggi di
daerah pedalaman.
Allah
Swt. Berfirman :
إنا لماطغاالماء
حملنكم فى الجارية.
Artinya
: Sesungguhnya Kami, ketika air telah naik (sampai ke gunung), Kami bawa (nenek
moyang kamu) ke dalam bahtera. (QS Al-Haqqah : 11)
Pada
contoh-contoh diatas terdapat beberapa isti’aarah tashrihiyyah, yakni
lafadz isytarau bermakna ikhtarau (memilih), lafafdz qamar
dengan maksud orang yang dipuj, dan lafadz thagaa bermakna bertambah
atau naik. Dan masing-masing isti’aarah memiliki karinah; karinah isytarau dan
lafadz adh-dhalaalata, karinah lafadz qamar adalah yu’adduuna
at-tahiyyata, dan karinah thagaa adalah lafadz al-maa.
Bila
kita perhatikan isti’aarah pertama, maka akan kita temukan kata-kata yang
relevan dengan musyabbah bih- yang menjadi isti’aarah-, dengan- yang
menjadi isti’aarah-, dan kata-kata tersebut adalah famaa rabihat
tijaaratuhum. Demikian pula bila kita perhhatikan isti’aarah kedua, akan kita
temukan kata-kata minal-iiwaani baad. Dan bila kita perhaikan isti’aarah
ketiga kata-kata serupa tidak kita temukan.
b.
Al-Buhturi berkata :
وأرى المنا ياإن رأت
بك شيبة # جعاتك مرمى نباها المتواتر
Saya
melihat kematian itu bila telah dilihatnya bahwa kamu beruban, maka ia jadikan
kamu sebagai sasaran anak panahnya yangbtelah direntankan.
كان فلان أكتب الناس
إذا شرب قلمه من دواته أوغنى فوق قرطاسه
Pulan
adalah orang yang paling hebat tulisannya ketika penanya minum tinta dan menari
diatas kertas nya.
قوم إذا الشر أبدى
ناجذيه لهم # طا روا إليه زرافات ووحدانا
Bila
kejelekan menampakkan kedua taringnya kepada suatu kau, maka mereka akan
menyerangnya secara berkelompok dan sendiri-sendiri.
Tiga contoh pada bagian diatas
terdapat beberapa isti’aarah makniyyah, yakni dhamir pada lafadz ra’at
yang kembali pada lafadz al-manaayaa yang disempurnakan dengan
manusia, lafadz al-qalam yang diserupakan dengan manusia juga, dan
lafadz asy-syarr yang diserupakan dengan binatang buas. Dan
masing-masing memiliki karinah; pada ist’aarah pertama kematian dikatakan melihat,
pada isti’aarah kedua qalam dikatakan minum dan menyanyi, dan
pada isti’aarah ketiga kejelekan dikatakan menampakkan kedua taringnya.
Bila
kita perhatikan, maka kita akan melihat bahwa pada isti’aarah yang pertama
terdapat kata-kata yang relevan dengan musyabbah bih, yaitu kata-kata ja’altuka
marma nabliha. Pada isti’aarah kedua terdapat kata-kata yang relevan dengan
musyabbah, yaitu kata-kata dawaatihii dan qirthaasihii, sedangkan pada isti’aarah
ketiga tidak terdapat kata-kata yang demikian. Isti’aarah macam pertama disebut
dengan isti’aarah murasysyahah, isti’aarah macam kedua disebut isti’aarah
mujarradah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar