Penggunaan
Lafal-Lafal Yang Berdekatan Maknanya
Tulisan
ini sengaja tidak menggunakan lafal sinonim, untuk menghindari anggapan umum
yang memahami sinonim sebagai kumpulan beberapa lafal untuk makna yang sama.[1]
Dalam literature Arab, taraduf atau sinonim ini masih
diperdebatkan, apakah mengandung arti kesamaan makna dari beberapa lafal yang
berbeda ataukah merupakan rincian sifat dari makna asal ?
Imel Badi’ Ya’qub, guru besar Linguistik pada Universitas Libanon, mengatakan
bahwa sinonim adalah fenomena bahasa yang wajar dan berkembang pada setiap
bahasa, apabila bahasa Arab fusha merupakan himpunan dari dialek kabilah –
kabilah pada masa jahiliyah.[2]
Menurut Abu Hilal al-Asakir, jika ada dua lafal untuk satu makna atau untuk
satu benda, niscaya lafal yang satu memiliki kekhususan yang tidak dimiliki
lafal lainnya, kalau tidak demikian niscaya lafal lainnya itu sia – sia.[3]
Dalam hal ini yang menarik untuk diperhatikan adalah pendapat Henry Guntur
Tarigan, menurutnya sinonim adalah lafal – lafal yang mempunyai denotasi yang
sama tetapi berbeda dalam konotasi. Dan dalam kasus-kasus tertentu sinonim
hanya mempunyai makna denotatif, seperti persekot, uang muka dan panjar .[4]
Misal, lafal ru’yâ dan ahlam
sering diartikan sama yaitu mimpi, namun jika diteliti secara cermat
pemakaiannya dalam al-Quran memiliki perbedaan. Lafal ahlâm
ditampilkan dalam al-Quran sebanyak tiga kali, dalam bentuk plural, dan di
dahului lafal adgâs ( membingungkan ), yaitu
dalam surah Yusuf [12:44] dan al-Anbiya’ [21:5].
Sedangkan lafal ru’yâ ditampilkan sebanyak tujuh
kali, dalam bentuk tunggal, dan semuanya dalam konteks mimpi yang benar, lima
kali untuk mimpi para nabi dan yang dua kali untuk mimpi al-Aziz yang kemudian
tenyata benar, yaitu dalam surah as-Sôffât [37:105], yusuf [12:5,100], al-Isra’
[17:60], al-Fath [48:27], Yusuf [12:43-44].[5]
Dari fenomena ini semakin jelas ditunjukkan bahwa lafal ahlâm
dalam al-Quran dikonotasikan dengan mimpi yang buruk dan membingungkan,
sedangkan lafal ru’yâ dikinotasikan dengan mimpi
yang benar – benar akan terjadi.
Lafal zauj
dan imra’ah
juga sering diduga mengandung arti sama yaitu isteri, karena Hawa digambarkan
al-Quran sebagai zauj Nabi Adam lihat Al-Baqorah [2:35], al-A’râf [7:19], dan
Tâhâ [20:117]. Istri al-Aziz, Nuh, luth, dan Fir’aun digambarkan sebagai imra’ah.
Jika diteliti secara lebih mendalam, ternyata lafal imra’ah tidak pernah
dipergunakan untuk Nabi Adam; dan lafal zauj tidak pernah dipergunakan
untuk keempat tokoh diatas.
Dalam ayat-ayat lain lafal zauj ditampilkan dalam konteks
kehidupan suami istri yang penuh kasih sayang dan memiliki anak keturunan,
seperti dalam surah ar-Rum [30:21] dan al-Furqan [25:74]. Sedangkan untuk
kehidupan keluarga yang tidak terjalin kasih sayang karena ada khianat atau
perbedaan aqidah digambarkan dengan lafal imra’ah, seperti imra’ah
al-Aziz dalam surah Yusuf [12:30,51], imra’ah
Nuh, Luth, dan Fir’aun
dalam surah at-Tahrim [66:10,11].[6]
Dengan demikian jelas bahwa lafal zauj dipergunakan dalam konteks
kehidupan suami istri yang penuh kasih sayang, sedangkan lafal imra’ah
dipergunakan dalam konteks kehidupan suami-istri yang kurang terjalin kasih
sayang, baik karena alasan berlainan aqidah ataupun karena ada pengkhianatan.
Metode asy-Syâti sangat menarik untuk terus dikembangkan, terutama untuk
meneliti lafal-lafal lainnya yang diduga memiliki kesamaan arti, seperti : diyâ’
dengan nûr.
Lafal diyâ’
dan nûr
sering diartikan cahaya, namun kalau diteliti lebih cermat, ternyata berbeda
penggunaannya dalam al-Quran.Lafal diyâ’ biasanya digandengkan dengan
matahari sedangkan nûr digandengkan dengan bulan dan
tidak ditemu penggunaan yang sebailknya, sebagaimana tertera dalam surah Yunus
[10:5].Dengan demikian diyâ’ mempunyai konotasi cahaya
yang lebih kuat dari pada nûr.
Lafal-lafal dalam al-Quran jika ditelusuri dan diteliti secara mendalam akan
memunculkan ilmu-ilmu baru yang sebelumnya tidak terbayangkan. Apabila
ilmu-ilmu tersebut dihimpun tentunya akan merupakan referensi yang sangat
mengagungkan, sehingga nantinya al-Quran bukan hanya sumber hukum fiqh dan
aqidah tetapi juga sumber bidang kebahasaan.
2.2 Penggunaan
Lafal-Lafal Homonim
Homonim
berasal dari bahasa Yunani: homos = sejenis; onoma
= nama. Dalam ilmu bahasa homonym adalah kata – kata yang sama bunyinya
tetapi mengandung arti dan pengertian berbeda.[7]
Namun ada
juga yang menyatakan bahwa homonym terjadi, antara lain, karena perbedaan
dialek dalam suatu bahasa serta perpindahan dari makna asal kemakna majaz, yang
mana hal ini kemudian banyak dipergunakan orang sehingga seakan-akan semuanya
menjadi makna hakiki.[8]
Faktanya,
keberadaan homonym didalam bahasa Arab dan bahasa-bahasa lainnya tidak bisa
dibantah. Tentu saja al-Quran sebagai pengguna bahasa Arab tidak bisa terlepas
dari masalah homonym ini, yang pada tingkat lebih lanjut akan berpengaruh
terhadap pemahamannya.
Lafal qurû’
adalah salah satu homonim dalam al-Quran, terdapat dalam surah al-Baqarah: 228.
Asy-Syafi’i mengartikannya suci, sedangkan Abu Hanifah mengartikannya haid. Kedua
pihak mengajukan argumentasi yang kuat.
Menurut
asy-Syafi’i, secara etimologis qurû’ berarti menahan. Keadaan suci
bagi wanita hakikatnya adalah menahan darah, sedangkan haid mengeluarkan darah.
Disamping itu kata qurû’ didahului lafal bilangan tsalatsata
( feminin ) yang mengharuskan kata benda yang dihitungnya ( ma’dûd
) berbentuk maskulin yang tiada lain adalah qurû’ dalam pengertian tuhrun
( suci ).
Abu
Hanifah melihatnya dari sisi lain. Menurutnya, maksud disyari’atkan ‘iddah
adalah untuk mengetahui rahim istri sewaktu diceraikan suaminya dalam
keadaan kosong. Untuk mengetahui kondisi seperti itu adalah dengan terjadinya
haid bagi wanita yang masih haid.[9]
Pengaruh
dari pemahaman homonym ini adalah, bahwa ‘iddah wanita yang dicerai suaminya
adalah tiga kali masa suci ( asy-Syafi’I ) atau tiga kali masa haid ( Abu Hanifah
). Masa ‘iddah yang dikemukakan asy-Syafi’i lebih pendek, karena begitu wanita
yang dicerai memasuki masa haid yang ketiga ‘iddahnya selesai.Tetapi menurut
Abu Hanifah, iddah wanita tersebut selesai jika sudah melewati haid ketiga dan
memasuki masa suci berikutnya.
Dalam
kasus- kasus fiqih, Al-Quran ataupun al-Hadist sering memberi peluang
pemikiran-pemikiran alternatif. Peluang seperti ini sangat diperlukan, terutama
untuk membina dan mengembangkan hukum islam yang “membumi”, sesuai dengan
tuntutan tempat dan zaman.
2.3 Penggunaan Lafal-Lafal Yang Tepat Makna
Yang
dimaksud dengan lafal-lafal yang tepat makna disini adalah pemilihan lafal
dalam suatu konteks tertentu sesuai dengan makna yang dibutuhkan.Penelitian
dalam aspek ini adalah mencari rahasia pemilihan lafal dalam konteks-konteks
tertentu.Ada satu keyakinan bahwa seluruh lafal dalam al-Quran sudah dipilih
dan disesuaikan dengan konteksnya, namun untuk mencari rahasia dibalik semua
itu, bukanlah suatu hal yang mudah.
Az-Zarqani
telah memberikan pilihan langkah dalam studi ini, yaitu dengan mengutip suatu
ayat dari al-Quran, menghitung jumlah lafalnya, lalu mencari kalimat selain
al-Quran yang jumlah lafalnya sama, kemudian membandingkan kedua kalimat itu,
mana yang paling bermakna dan paling efesien penggunaan lafalnya.[10]
Sebagai
contoh; dalam surah Maryam [19:3-6] Zakaria dilukiskan sebagai orang tua-renta
yang sudah lemah dan penuh uban, namun ia tetap berdo’a kepada Allah agar
diberi keturunan. Untuk menggambarkan kondisi tua-renta al-Quran memilih lafal wahanal
‘ azmu minni ( tukangku telah lemah ) bukan wahanal-lahmu
minni ( dagingku telah lemah ). Tulang adalah tempat daging
menempel, kalau tulang sudah lemah apalagi daging, tetapi tidak bisa sebaliknya
yaitu jika daging lemah otomatis tulangnya pun lemah. Selanjutnya Zakaria yang
sudah tua ini diilustrasikan dengan wasyta’alar-ra’su syaiba, jika
lafal syaiba dipindah letak menjadi wasyta’alasysyaibu fir-ro’si maka
akan mengandung makna lain. Letak lafal syaiba pada kalimat pertama
mengandung makna “uban itu telah memenuhi kepala”;lafal sayaiba
dalam kalimat kedua mengandung makna ”uban itu ada dikepala”, mungkin dibagian
depan atau bagian belakang. Disamping pada kalimat pertama tergambarkan
pertumbuhan uban itu menyebar pelan – pelan dan akhirnya memenuhi kepala.Dengan
demikian pemilihan dan peletakan lafal al-azmu dan syaiba
pada ayat tersebut sangat tepat dan sesuai dengan tuntutan konteks.
Dari
uraian tampak jelas bahwa peletakan lafal dalam Al-Qur’an bukan semata – mata
memperhatikan keindahan susunan tapi juga ketepatan makna yang di kandungnya.
Ehem ehem,,,
BalasHapusdtunggu kunbal'a di blog ane y bu,
amarfasyni.blogspot.com