Senin, 21 Januari 2013

Lafal Al-Quran



Penggunaan Lafal-Lafal Yang Berdekatan Maknanya
Tulisan ini sengaja tidak menggunakan lafal sinonim, untuk menghindari anggapan umum yang memahami sinonim sebagai kumpulan beberapa lafal untuk makna yang sama.[1]
       Dalam literature Arab, taraduf atau sinonim ini masih diperdebatkan, apakah mengandung arti kesamaan makna dari beberapa lafal yang berbeda ataukah merupakan rincian sifat dari makna asal ?
       Imel Badi’ Ya’qub, guru besar Linguistik pada Universitas Libanon, mengatakan bahwa sinonim adalah fenomena bahasa yang wajar dan berkembang pada setiap bahasa, apabila bahasa Arab fusha merupakan himpunan dari dialek kabilah – kabilah pada masa jahiliyah.[2]
       Menurut Abu Hilal al-Asakir, jika ada dua lafal untuk satu makna atau untuk satu benda, niscaya lafal yang satu memiliki kekhususan yang tidak dimiliki lafal lainnya, kalau tidak demikian niscaya lafal lainnya itu sia – sia.[3]
       Dalam hal ini yang menarik untuk diperhatikan adalah pendapat Henry Guntur Tarigan, menurutnya sinonim adalah lafal – lafal yang mempunyai denotasi yang sama tetapi berbeda dalam konotasi. Dan dalam kasus-kasus tertentu sinonim hanya mempunyai makna denotatif, seperti persekot, uang muka dan panjar .[4]
       Misal, lafal ru’yâ dan ahlam sering diartikan sama yaitu mimpi, namun jika diteliti secara cermat pemakaiannya dalam al-Quran memiliki perbedaan. Lafal ahlâm ditampilkan dalam al-Quran sebanyak tiga kali, dalam bentuk plural, dan di dahului lafal adgâs ( membingungkan ), yaitu dalam surah Yusuf [12:44] dan al-Anbiya’ [21:5].
       Sedangkan lafal ru’yâ ditampilkan sebanyak tujuh kali, dalam bentuk tunggal, dan semuanya dalam konteks mimpi yang benar, lima kali untuk mimpi para nabi dan yang dua kali untuk mimpi al-Aziz yang kemudian tenyata benar, yaitu dalam surah as-Sôffât [37:105], yusuf [12:5,100], al-Isra’ [17:60], al-Fath [48:27], Yusuf [12:43-44].[5]  
       Dari fenomena ini semakin jelas ditunjukkan bahwa lafal ahlâm dalam al-Quran dikonotasikan dengan mimpi yang buruk dan  membingungkan, sedangkan lafal ru’yâ dikinotasikan dengan mimpi yang benar – benar akan terjadi.
       Lafal zauj dan imra’ah juga sering diduga mengandung arti sama yaitu isteri, karena Hawa digambarkan al-Quran sebagai zauj Nabi Adam lihat Al-Baqorah [2:35], al-A’râf [7:19], dan Tâhâ [20:117]. Istri al-Aziz, Nuh, luth, dan Fir’aun digambarkan sebagai imra’ah. Jika diteliti secara lebih mendalam, ternyata lafal imra’ah tidak pernah dipergunakan untuk Nabi Adam; dan lafal zauj tidak pernah dipergunakan untuk keempat tokoh diatas.
       Dalam ayat-ayat lain lafal zauj ditampilkan dalam konteks kehidupan suami istri yang penuh kasih sayang dan memiliki anak keturunan, seperti dalam surah ar-Rum [30:21] dan al-Furqan [25:74]. Sedangkan untuk kehidupan keluarga yang tidak terjalin kasih sayang karena ada khianat atau perbedaan aqidah digambarkan dengan lafal imra’ah, seperti imra’ah al-Aziz dalam surah Yusuf [12:30,51],  imra’ah Nuh, Luth, dan Fir’aun dalam surah at-Tahrim [66:10,11].[6]
       Dengan demikian jelas bahwa lafal zauj dipergunakan dalam konteks kehidupan suami istri yang penuh kasih sayang, sedangkan lafal imra’ah dipergunakan dalam konteks kehidupan suami-istri yang kurang terjalin kasih sayang, baik karena alasan berlainan aqidah ataupun karena ada pengkhianatan.
       Metode asy-Syâti sangat menarik untuk terus dikembangkan, terutama untuk meneliti lafal-lafal lainnya yang diduga memiliki kesamaan arti, seperti : diyâ’ dengan nûr.
       Lafal diyâ’ dan nûr sering diartikan cahaya, namun kalau diteliti lebih cermat, ternyata berbeda penggunaannya dalam al-Quran.Lafal diyâ’ biasanya digandengkan dengan matahari sedangkan nûr digandengkan dengan bulan dan tidak ditemu penggunaan yang sebailknya, sebagaimana tertera dalam surah Yunus [10:5].Dengan demikian diyâ’ mempunyai konotasi cahaya yang lebih kuat dari pada nûr.
       Lafal-lafal dalam al-Quran jika ditelusuri dan diteliti secara mendalam akan memunculkan ilmu-ilmu baru yang sebelumnya tidak terbayangkan. Apabila ilmu-ilmu tersebut dihimpun tentunya akan merupakan referensi yang sangat mengagungkan, sehingga nantinya al-Quran bukan hanya sumber hukum fiqh dan aqidah tetapi juga sumber bidang kebahasaan.
2.2 Penggunaan  Lafal-Lafal Homonim
Homonim berasal dari bahasa Yunani: homos = sejenis; onoma = nama. Dalam ilmu  bahasa homonym adalah kata – kata yang sama bunyinya tetapi mengandung arti dan pengertian berbeda.[7]
Namun ada juga yang menyatakan bahwa homonym terjadi,  antara lain, karena perbedaan dialek dalam suatu bahasa serta perpindahan dari makna asal kemakna majaz, yang mana hal ini kemudian banyak dipergunakan orang sehingga seakan-akan semuanya menjadi makna hakiki.[8]
Faktanya, keberadaan homonym didalam bahasa Arab dan bahasa-bahasa lainnya tidak bisa dibantah. Tentu saja al-Quran sebagai pengguna bahasa Arab tidak bisa terlepas dari masalah homonym ini, yang pada tingkat lebih lanjut akan berpengaruh terhadap pemahamannya.
Lafal qurû’ adalah salah satu homonim dalam al-Quran, terdapat dalam surah al-Baqarah: 228. Asy-Syafi’i mengartikannya suci, sedangkan Abu Hanifah mengartikannya haid. Kedua pihak mengajukan argumentasi yang kuat.
Menurut asy-Syafi’i, secara etimologis qurû’ berarti menahan. Keadaan suci bagi wanita hakikatnya adalah menahan darah, sedangkan haid mengeluarkan darah. Disamping itu kata qurû’ didahului lafal bilangan tsalatsata ( feminin ) yang mengharuskan kata benda yang dihitungnya ( ma’dûd ) berbentuk maskulin yang tiada lain adalah qurû’ dalam pengertian tuhrun ( suci ).
Abu Hanifah melihatnya dari sisi lain. Menurutnya, maksud disyari’atkan ‘iddah adalah untuk mengetahui  rahim istri sewaktu diceraikan suaminya dalam keadaan kosong. Untuk mengetahui kondisi seperti itu adalah dengan terjadinya haid bagi wanita yang masih haid.[9]
Pengaruh dari pemahaman homonym ini adalah, bahwa ‘iddah wanita yang dicerai suaminya adalah tiga kali masa suci ( asy-Syafi’I ) atau tiga kali masa haid ( Abu Hanifah ). Masa ‘iddah yang dikemukakan asy-Syafi’i lebih pendek, karena begitu wanita yang dicerai memasuki masa haid yang ketiga ‘iddahnya selesai.Tetapi menurut Abu Hanifah, iddah wanita tersebut selesai jika sudah melewati haid ketiga dan memasuki masa suci berikutnya.
Dalam kasus- kasus fiqih, Al-Quran ataupun al-Hadist sering memberi peluang pemikiran-pemikiran alternatif. Peluang seperti ini sangat diperlukan, terutama untuk membina dan mengembangkan hukum islam yang “membumi”, sesuai dengan tuntutan tempat dan zaman.
2.3 Penggunaan Lafal-Lafal Yang Tepat Makna
Yang dimaksud dengan lafal-lafal yang tepat makna disini adalah pemilihan lafal dalam suatu konteks tertentu sesuai dengan makna yang dibutuhkan.Penelitian dalam aspek ini adalah mencari rahasia pemilihan lafal dalam konteks-konteks tertentu.Ada satu keyakinan bahwa seluruh lafal dalam al-Quran sudah dipilih dan disesuaikan dengan konteksnya, namun untuk mencari rahasia dibalik semua itu, bukanlah suatu hal yang mudah.
Az-Zarqani telah memberikan pilihan langkah dalam studi ini, yaitu dengan mengutip suatu ayat dari al-Quran, menghitung jumlah lafalnya, lalu mencari kalimat selain al-Quran yang jumlah lafalnya sama, kemudian membandingkan kedua kalimat itu, mana yang paling bermakna dan paling efesien penggunaan lafalnya.[10]
Sebagai contoh; dalam surah Maryam [19:3-6] Zakaria dilukiskan sebagai orang tua-renta yang sudah lemah dan penuh uban, namun ia tetap berdo’a kepada Allah agar diberi keturunan. Untuk menggambarkan kondisi tua-renta al-Quran memilih lafal wahanal ‘ azmu minni ( tukangku telah lemah ) bukan wahanal-lahmu minni ( dagingku telah lemah ). Tulang adalah tempat daging menempel, kalau tulang sudah lemah apalagi daging, tetapi tidak bisa sebaliknya yaitu jika daging lemah otomatis tulangnya pun lemah. Selanjutnya Zakaria yang sudah tua ini diilustrasikan dengan wasyta’alar-ra’su syaiba, jika lafal syaiba dipindah letak menjadi wasyta’alasysyaibu fir-ro’si maka akan mengandung makna lain. Letak lafal syaiba pada kalimat pertama mengandung makna “uban itu telah memenuhi kepala”;lafal sayaiba dalam kalimat kedua mengandung makna ”uban itu ada dikepala”, mungkin dibagian depan atau bagian belakang. Disamping pada kalimat pertama tergambarkan pertumbuhan uban itu menyebar pelan – pelan dan akhirnya memenuhi kepala.Dengan demikian pemilihan dan peletakan lafal al-azmu dan syaiba pada ayat tersebut sangat tepat dan sesuai dengan tuntutan konteks.
Dari uraian tampak jelas bahwa peletakan lafal dalam Al-Qur’an bukan semata – mata memperhatikan keindahan susunan tapi juga ketepatan makna yang di kandungnya.


[1] Imel Badi’Ya’qub, hal. 173
[2] Ibid., hal. 176
[3] Aisyah’Abdurrahman bint asy-Syathi, 1984, hal. 211-214
[4] Henry Guntur Tarigan, 1986, hal. 17, 30
[5] A’isyah Abdurrahman  bint asy-Syâthi, Op. Cit., 1984, hal.215-216
[6] Ibid., hal.229-230
[7] Henry Guntur Tarigan, Op. Cit., hal. 30
[8] Ali Hasaballah, 1976, hal. 287
[9] Musthafa Sa’id al-Khin, 1972, hal. 70-74
[10] Muhammad Abdul-‘Adim az-Zarqani,  hal. 221

1 komentar:

  1. Ehem ehem,,,
    dtunggu kunbal'a di blog ane y bu,
    amarfasyni.blogspot.com

    BalasHapus