BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Postmoderenisme
Ada banyak ragam
terminologi dan makna istilah postmodern, tergantung pada wilayah pendekatan
yang berbeda. Di satu sisi, istilah “Postmodern”tidak diciptakan sebagai
sesuatu yang baru dalam rangka filsafat. Sebelumnya istilah ini sudah cukup
lama dipakai dalam bidang kesenian khususnya arsitektur dan kesusastraan,
terutama Amerika Serikat. Bahkan seorang filosof Jerman, Rudofl Panwitz(1917),
telah menggunakan istilah postmodern yang secara kritis digunakan untuk
menangkap adanya gejala nihilisme kebudayaan Baran modern.[1]
Istilah Postmiodernisme” bisa menunjuk pada berbagai arti yang berbeda,
bisa berarti: Aliran pemikiran filsafati, pembabakan sejarah(erat terkait pada
pergeseran paradigma), ataupun sikap dasar/ etos tertentu. Masing-masing
membawa konskuensi logis yang berbeda, meskipun bisa saling berkaitan juga.
Apabila yang dimaksudkan adalah aliran filsafat, maka ia menunjuk
terutama pada gagasan-gagasan J.F.Lyotard, yang paling eksplisit
menggunakan istilah itu. Dan apabila yang dimaksud adalah babakan sejarah baru
yang meninggalkan kerangka berpikir modern(“post”modern), maka mereka yang
paling sibuk memetakannya adalah Charles Jeneks, Andreas Huysen, David
Harvey,dll.[2]
2.2 Kelahiran
Postmodernisme
Istilah Postmedernisme
muncul untuk pertama kalinya di wiliyah seni. Menurut Hassan dan Jenck istilah
ini pertama-tama dipakai oleh Federico de Onis pada tahun 1930-an dalam
karyanya, Antologi de la poesia Espanola a Hispanoamerican, untuk
menunjukkan reaksi yang muncul dari dalam modernism. Kemudian dibidang
historiografi oleh Toyn bee dalam a Study of History(1947). Disini istilah itu
merupakan kategori yang menjelaskan siklus sejarah baru yang dimulai sejak
tahun 1875 dengan berakhirnya dominasi barat, surutnya individualisme,
kapitalisme dan kristianitas, serta kebangkitan kekuatan budaya non barat.[3]
ahir di St. Louis,
Missouri, 15 Juli 1972, pukul 3:32 sore. Ketika pertama kali didirikan, proyek
rumah Pruitt-Igoe di St. Louis di anggap sebagai lambang arsitektur modern.
Yang lebih penting, ia berdiri sebagai gambaran modernisme, yang menggunakan
teknologi untuk menciptakan masyarakat utopia demi kesejahteraan manusia.
Tetapi para penghuninya menghancurkan bangunan itu dengan sengaja. Pemerintah
mencurahkan banyak dana untuk merenovasi bangunan tersebut. Akhirnya, setelah
menghabiskan jutaan dollar, pemerintah menyerah. Pada sore hari di bulan Juli
1972, bangunan itu diledakkan dengan dinamit. Menurut Charles Jencks, yang
dianggap sebagai arsitek postmodern yang paling berpengaruh, peristiwa
peledakan ini menandai kematian modernisme dan menandakan kelahiran
postmodernisme. Disinggung pula di sana tentang pluralism dan kebudayaan dunia,
hal-hal yang masih essensial dalam pengertian tentang postmodernisme kini. Kemudian pada tahun
1970-an, Hassan memproklamirkan diri sebagai pembicara postmodernisme dan ia
menerapkan label ini pada eksperimentasi seni dan kecenderungan pada
ultra-teknologi dalam arsitektur.
Istilah itu kemudian menjadi lebih popular manakala digunakan oleh para
seniman, penulis dan kritikus seperti Sontag dan Borroughs untuk menunjukkan
sebuah gerakan yang menolak modernisme yang berhenti pada birokrasi museum dan
akademi.
2.3 Perkembangan
Postmodernisme
Jean Francois Lyotard adalah filsuf kelahiran Versailles Perancis yang
mulai meletakkan dasar argumentasi filosofis dalam diskursus postmodernisme.
Lyotard mencatat beberapa ciri utama kebudayaan postmodern. Menurutnya,
kebudayaan postmodern ditandai oleh beberapa prinsip yakni: lahirnya masyarakat
komputerisasi, runtuhnya narasi-narasi besar modernisme, lahirnya prinsip
delegitimasi, disensus, serta paralogi. Masyarakat komputerisasi adalah sebutan
yang diberikan Lyotard untuk menunjuk gejala post-industrial masyarakat Barat
menuju the information technology era. Realitas sosial budaya masyarakat dewasa
ini seperti yang ditelitinya secara seksama di Quebec Kanada adalah
masyarakat yang hidup dengan ditopang oleh sarana teknologi informasi, terutama
komputer. Dengan komputerisasi, prinsip-prinsip produksi, konsumsi dan
transformasi mengalami revolusi radikal. Penggunaan tenaga manusia yang semakin
terbatas dalam sektor ekonomi, pelipatan ruang dalam dunia telekomunikasi,
percepatan pengolahan data dan informasi yang mampu mengubah bahkan
memanipulasi realitas, penyebaran pengetahuan dan kekuasaan secara massif,
adalah beberapa konsekuensi perkembangan teknologi (Sarup, 1989: 118). Dalam
masyarakat komputerisasi seperti ini, nilai-nilai serta asumsi dasar modernisme:
rasio, hukum sejarah linear, subjek, ego, narasi besar, otonomi,
identitas tidak lagi mampu menggambarkan realitas. Bahkan, realitas telah
berubah sesuai dengan perubahan karakter masyarakat postmodernisme. Realitas
masyarakat seperti inilah yang menjadi wadah, arena perjuangan, nilai-nilai
baru postmodernisme. Lebih jauh Lyotard menyatakan prinsip-prinsip yang
menegakkan modernisme: rasio, ego, ide absolut, totalitas, teleologi, oposisi
biner, subjek, kemajuan sejarah linear yang disebutnya Grand
Narrative telah kehilangan legitimasi . Cerita-cerita besar modernisme
tersebut tak ayal hanyalah kedok belaka, mistifikasi, yang bersifat ideologis,
eksploitatif, dominatif dan semu.[4]
Menurut Akbar S. Ahmed,
dalam bukunya Postmodernism and Islam , terdapat delapan ciri karakter
sosiologis postmodernisme. Pertama, timbulnya pemberontakan secara
kritis terhadap proyek modernitas, memudarnya kepercayaan pada agama yang
bersifat transenden dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme
kebenaran. Kedua, meledaknya industri media massa, sehingga ia seolah
merupakan perpanjangan dari system indera, organ dan syaraf manusia. Kondisi
ini pada gilirannya menjadikan dunia dan ruang realitas kehidupan terasa
menyempit. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma menjadi Agama
dan Tuhan baru yang menentukan kebenaran dan kesalahan perilaku manusia. Ketiga,
munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul sebagai reaksi
manakala orang semakin meragukan kebenaran ilmu, teknologi dan filsafat modern
yang dinilai gagal memenuhi janji emansipatoris untuk membebaskan manusia dan
menciptakan kehidupan yang lebih baik. Keempat, munculnya kecenderungan
baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan romantisme
dengan masa lampau. Kelima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban
area) sebagai pusat kebudayaan dan sebaliknya, wilayah pedesaan (rural area)
sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara
maju (Negara Dunia Pertama) atas negara berkembang (Negara Dunia Ketiga). Keenam,
semakin terbukanya peluang bagi pelbagai kelas sosial atau kelompok minoritas
untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas dan terbuka. Dengan kata lain,
era postmodernisme telah turut mendorong proses demokratisasi. Ketujuh,
munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya ekletisisme dan pencampuradukan berbagai
diskursus, nilai, keyakinan dan potret serpihan realitas, sehingga sekarang
sulit untuk menempatkan suatu objek budaya secara ketat pada kelompok budaya
tertentu secara eksklusif. Kedelapan, bahasa yang digunakan dalam
diskursus postmodernisme seringkali mengesankan tidak lagi memiliki kejelasan
makna dan konsistensi, sehingga bersifat paradoks.[5]
Dari arah berbeda,
Baudrillard menyatakan kebudayaan postmodern memiliki beberapa ciri
menonjol. Pertama, kebudayaan postmodern adalah kebudayaan uang, excremental
culture. Uang mendapatkan peran yang sangat penting dalam masyarakat
postmodern. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, fungsi dan makna uang dalam
budaya postmodern tidaklah sekedar sebagai alat-tukar, melainkan lebih dari itu
merupakan simbol, tanda dan motif utama berlangsungnya kebudayaan. Kedua,
kebudayaan postmodern lebih mengutamakan penanda (signifier) ketimbang petanda
(signified), media (medium) ketimbang pesan (message), fiksi (fiction)
ketimbang fakta (fact), sistem tanda (system of signs) ketimbang sistem objek
(system of objects), serta estetika (aesthetic) ketimbang etika (ethic).
Ketiga, kebudayaan postmodern adalah sebuah dunia simulasi, yakni dunia yang
terbangun dengan pengaturan tanda, citra dan fakta melalui produksi maupun
reproduksi secara tumpang tindih dan berjalin kelindan. Keempat, sebagai
konsekuensi logis karakter simulasi, budaya postmodern ditandai dengan sifat
hiperrealitas, dimana citra dan fakta bertubrukan dalam satu ruang kesadaran
yang sama, dan lebih jauh lagi realitas semu (citra) mengalahkan realitas yang
sesungguhnya (fakta). Kelima, kebudayaan postmodern ditandai dengan meledaknya
budaya massa, budaya populer serta budaya media massa. Kapitalisme lanjut yang
bergandengan tangan dengan pesatnya perkembangan teknologi, telah memberikan
peranan penting kepada pasar dan konsumen sebagai institusi kekuasaan baru
menggantikan peran negara, militer dan parlemen.
Pauline M. Rosenau,
dalam bukunya Postmodernism and Social Sciences, membedakan postmodernisme
menjadi dua bentuk. Pertama, postmodernisme sebagai paradigma pemikiran.
Sebagai paradigma pemikiran, postmodernisme meliputi tiga aspek ontologi,
epistemologi serta aksiologi. Ketiga aspek dasar ini menjadi kerangka berpikir
dan bertindak penganut postmodernisme bentuk pertama Kedua,
postmodernisme sebagai metode analisis kebudayaan. Dalam konteks ini, prinsip
dan pemikiran postmodernisme digunakan sebagai lensa membaca realitas social budaya
masyarakat kontemporer.[6]
Dari arah yang agak
berbeda, Frederic Jameson menyatakan bahwa postmodernisme tak lain adalah
konsekuensi logis perkembangan kapitalisme lanjut. Melalui tulisannya
Postmodernism or The Cultural Logic of Late Capitalism, Jameson meyakinkan
resiko tak terelakkan dari dominasi kapitalisme lanjut yang telah
menyempurnakan dirinya, yakni kapitalisme yang telah berubah watak karena telah
banyak belajar dari berbagai rongrongan dan kritik. Kapitalisme yang titik
beratnya bergeser dari industri manufaktur ke industri jasa dan informasi.
Kapitalisme yang, demi kepentingan jangka panjang, secara cerdas
mengakomodasikan tuntutan serikat pekerja, kelangsungan hidup lingkungan, dan
daya kreatif/kritis konsumen. Kapitalisme yang mengintegrasikan banyak unsur
sosialisme ke dalam dirinya. Kapitalisme yang bekerja dengan prinsip
desentralisasi dan deregulasi karena sistem terpusat tak sigap menghadapi
perubahan cepat. Kapitalisme yang tidak menawarkan keseragaman gaya/citra
kultural karena pasar dan tenaga kerja telah mengalami diversifikasi begitu
jauh.[7]
2.4 Perbedaan modern dengan
postmodern
Pergeseran dari modern
ke posmodernisme memang bukan lah revolusi yang tiba-tiba, tetapi lebih
merupakan sebuah proses yang berlangsung dalam rentang waktu tertentu. Ketidak
puasan terhadap hasil era modern tidak terlalu menonjol sampai munculnya
ancaman bagi umat manusia yang jelas diketahui bersama, misalnya perang nuklir.
Sejak itulah modernitas lebih dianggap menghsdilksn kecemasan daripada
kesejahteraan. Dengan demikian, modernism jelas bukanlah sebuah idealisme yang
dapat diterima secara utuh. Pemikiranpun bergeser kea rah yang di anggap lebih
baik, dan disinilah postmodernisme mengambil peran utama.
Postmodernisme secara
umum dapat berarti sensibilitas budaya tanpa nilai absolut. Hal ini kemudian
membuat jalan bagi pluralism dan keragaman pemikiran. Pada intinya, postmodern,
sebagaimana berulangkali dikemukakan oleh Grenz, merupakan reaksi menentang
totalisasi pencerahan. Pada saat moderenisme berada pada titik “krisis
identitas” ketika peradapan dengan banyak masalah, postmodern seakan memberikan
sebuah studi pandang yang lebih realistis. Masyarakat yang sudah lelah dan
putus asa pun segera berpaling untuk mendapatkan “rekreasi” dari tekanan dan
kefrustasian yang ditimbulkan oleh modernitas. Dari sini, kita dapat segera
menyimpulkan bahwa memang modernism dan postmodernisme menawarkan perbedaan
yang berarti.
2.5 Implikasi Pergeseran Modernisme ke Postmodernisme Pada Kekristenan
Tanpa nilai absolut
yang menjadi satu standar acuan tertentu dalam segala hal, postmodernisme
memberikan kebebasan yang tidak pernah ada sebelumnya dalam sejarah dunia.
Kebebasan yang seperti ini mau tidak mau jelas telah membuka jalan bagi
relativisme dan pluralisme. Pluralisme dalam aspek keagamaan telah menciptakan
sebuah “warna” baru lagi bagi posisi kekristenan dalam dunia. Jika di era
modern kekristenan mendapat tekanan yang hebat dari kaum rasionalis Pencerahan,
sebaliknya dalam era postmodern, kita mendapatkan “pengakuan.” Namun pengakuan
yang diberikan ini pun memiliki nada tuntutan agar kekristenan pun dapat mengakui
“kebenaran” yang lain. Demikianlah kekristenan mendapat tekanan untuk dapat
pula menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Dalam hal ini, dari
kelompok Kristen sendiri muncul tiga pendekatan yang berbeda. Ada yang berusaha
mengakomodasi filsafat postmodern ke dalam iman Kristen, yang jelas mengarah
pada penerimaan pluralisme agama (contoh, David Tracy); ada yang mencari jalan
tengah dengan metode sintesis (contoh, George Lindbeck dan Stanley Grenz); dan
ada pula yang secara ekstrem menolak postmodernisme (contoh, Carl Henry).[17]
Bagian Teologi Kristen
yang paling segera harus mengalami penyesuaian adalah apologetika—usaha untuk
mempertahankan dan memberitakan klaim kebenaran bagi dunia.[18] Secara
apologetik, kekristenan harus dapat memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa
kebenaran kekristenan harus ditanggapi dengan serius di tengah adanya begitu
banyak alternatif. Di dunia postmodern, tidak seorang pun dapat mengklaim
memiliki kebenaran yang paling benar. Semua kebenaran masing-masing pribadi adalah
kebenaran yang sah. Tidak seorang pun memiliki hak untuk memaksakan
kebenarannya pada orang lain. Tidak ada standar lagi untuk menentukan benar
atau salah; satu-satunya standar adalah diri sendiri. Di sinilah tantangan
terberat bagi kekristenan untuk tetap berdiri teguh dan mengerjakan pemberitaan
Injil sebagaimana yang Tuhan Yesus perintahkan.
2.6 Ciri-Ciri Postmodernisme
Hal ini karena dalam masyarakat kapitalisme-lanjut Barat, perhatian utama
lebih ditujukan kepada simbol, citra, sistem tanda dan bukan lagi pada manfaat
dan harga komoditi.Lebih lanjut Baudrillard menyatakan kebudayaan
postmodern memiliki beberapa ciri menonjol.
Pertama, kebudayaan postmodern adalah kebudayaan uang, excremental culture.
Uang mendapatkan peran yang sangat penting dalam masyarakat postmodern. Berbeda
dengan masa-masa sebelumnya, fungsi dan makna uang dalam budaya postmodern
tidaklah sekedar sebagai alat-tukar, melainkan lebih dari itu merupakan simbol,
tanda dan motif utama berlangsungnya kebudayaan.
Kedua, kebudayaan postmodern lebih mengutamakan penanda (signifier)
ketimbang petanda (signified), media (medium) ketimbang pesan (message), fiksi
(fiction) ketimbang fakta(fact), sistem tanda (system of signs) ketimbang
sistem objek (system of objects), serta estetika (aesthetic) ketimbang etika
(ethic). Ketiga, kebudayaan postmodern adalah sebuah dunia simulasi, yakni
dunia yang terbangun dengan pengaturan tanda, citra dan fakta melalui produksi
maupun reproduksi secara tumpang tindih dan berjalin kelindan. Keempat, sebagai
konsekuensi logis karakter simulasi, budaya postmodern ditandai dengan sifat
hiperrealitas, dimana citra dan fakta bertubrukan dalam satu ruang kesadaran
yang sama, dan lebih jauh lagi realitas semu (citra) mengalahkan realitas yang
sesungguhnya (fakta).
Kelima, kebudayaan postmodern ditandai dengan meledaknya budaya massa,
budaya populer serta budaya media massa. Kapitalisme lanjut yang bergandengan
tangan dengan pesatnya perkembangan teknologi, telah memberikan peranan penting
kepada pasar dan konsumen sebagai institusi kekuasaan baru menggantikan peran
negara, militer dan parlemen (Harvey, 1989: 102).
Dalam konstruksi kebudayaan seperti inilah artefak-artefak budaya
postmodern menemukan dirinya. Tidak ada lagi mitos Sang Seniman dalam wacana
seni modern yang berpretensi membebaskan dunia. Tidak ada lagi karya seni,
kecuali reproduksi dari berbagai unsur seni yang sudah ada. Tidak ada lagi
perbedaan antara seni rendah dan seni tinggi, seni populer (popular art) dan
seni murni (fine art). Estetika seni postmodern ditandai dengan prinsip-prinsip
pastiche (peminjaman dan penggunaan berbagai sumber seni masa lalu), parodi
(distorsi dan permainan makna), kitsch (reproduksi gaya,bentuk dan ikon), serta
camp (pengelabuhan identitas dan penopengan (Pilliang, 1998: 109).
Diskursus kebudayaan postmodern mendapatkan legitimasi
sosio-kultural-filosofisnya justru dari kegamangan era modern dalam menuntaskan
proyek Pencerahan. Proyek modernisme yang dihidupi oleh semangat Pencerahan
ini dengan keyakinan akan prinsip kemajuan sejarah yang linear,
kebenaran ilmiah yang mutlak, keampuhan rekayasa bagi suatu masyarakat yang
diidealkan, serta pembakuan tata pengetahuan dan system produksi yang
keras saat ini tengah menghadapi ujian besar dengan menyebarnya berbagai
patologi modernitas.
Postmodernisme mencoba mempertanyakan kembali posisi, batas dan implikasi
asumsi-asumsi modernisme yang kini telah menjelma menjadi mitos baru. Dalam
kerangka kritis itulah Jean Baudrillard mencoba membaca realitas kebudayaan
masyarakat Barat dewasa ini. Dengan mengadopsi dan mengembangkan
pemikiran-pemikiran Karl Marx tentang nilai-guna (use-value) dan nilai-tukar
(exchange-value), semiologi Roland Barthes, society of spectacle Guy Debord,
serta konsep global village dan medium is message Marshal McLuhan,
Baudrillard menyatakan bahwa realitas kebudayaan dewasa ini menunjukkan adanya
karakter khas yang membedakannya dengan realitas kebudayaan modern masyarakat
Barat.
Inilah kebudayaan postmodern yang memiliki ciri-ciri hiperrealitas,
simulacra dan simulasi, serta didominasi oleh nilai-tanda dan
nilai-simbol. Inilah wacana kebudayaan yang saat ini menghidupi dan sekaligus
kita hidupi, sebagai sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditolak. Wacana
kebudayaan inilah yang menawarkan tantangan sekaligus peluang bagi kita untuk
mulai memperhatikan sisi lain realitas masyarakat dewasa ini.
2.7 Dampak Postmodernisme
Jika tidak hati-hati,
filsafat bisa membawa dampak buruk bagi pemikiran Islam. Laksana obat,
kadar dan cara penggunaannya harus tepat. Jika keliru, bisa berdampak negative.
Sebut saja, misalnya, filsafat posmodernisme. Dalam beberapa dekade terakhir
ini, filsafat posmodernis Perancis memberikan pengaruh yang cukup kuat dalam
arus pemikiran Islam dan filsafat di belahan bumi yang sedang bergejolak saat
ini seperti Maroko, Aljazair, dan Tunisia. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari
beberapa karya tulis yang terhasil dari tangan para cendikiawan dan pemikir
negeri ini. Beberapa karya besar dari tokoh-tokoh posmodernis seperti Michel
Foucault, Jacques Derrida, dan Paul Ricour sudah diterjemahkan kedalam Bahasa
Arab.
Diantara karya Foucault
tersohor yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab adalah Archeology
of Knowledgediterjemahkan oleh Salim Yafut dengan judul Hafriyat
al-Ma’rifah. Mungkin terinspirasi dengan buku ini, Yafut-pun menulis buku
dengan memakai istilah yang sama yaitu Hafriyāt al-al-Ma'rifah al-'Arabiyyah
al-Islāmiyyah and Hafriyāt al-Istishrāq. Hafriyat disini
bermaksud archeology, sebuah istilah yang dipopulerkan oleh
Foucault dalam upayanya membongkar jaring-jaring (struktur) pemikiran filsafati
Barat. Karya lainnya yang telah di-Arab-kan termasuk Discipline and
Punishment Discipline and Punishment, dan The Orders of Things. Kehadiran
Foucault dalam pemikiran Arab dengan baik di jelaskan oleh Zawawi Bughurah
dalam karyanya yang berjudul Michel Foucault fi al-Fikr al-'Arabi
al-Mu'asir (Beirut: Dar al-Tali'ah, 2001).
Selain Foucault,
Derrida juga memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam pemikiran Arab
kontemporer. Hal ini sangat baik di jelaskan oleh Ahmad ‘Abd al-Halim 'Atiyyah
dalam artikelnya yang judul al-Tafkīk wa al-Ikhtilaf: Jacques Derrida
wa al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’asir yang diterbitkan dalam buku yang
diedit oleh Mahmud Amīn al-‘Alim, al-Fikr al-‘Arabi ‘ala Masharif
al-Qarn al-Hadi wa al-‘Ishrin. (Qadaya Fikriyyah lī al-Nashr wa al-Tawzi’,
1995, hal 159- 199).
Di antara sekian banyak
pemikir Arab yang banyak terpengaruh dengan filsafat pos-modernisme, mungkin
Muhammad ‘Abid al-Jabiri (m. 2010) dan Mohammad Arkoun (2010), masing-masing
berasal dari Maroko dan Aljazair, berada di garda depan. Kentalnya nuansa
pos-modernisme dalam pikiran mereka terekam jelas dalam beberapa karya yang
mereka hasilkan. Disana kita menemukan banyaknya istilah, konsep, ide, dan
metode yang disadur dari pemikir postmodernis, terutama yang berasal dari
Perancis seperti Michel Foucault.
Ada yang menyatakan bahwa
apa yang dilakukan Jabiri dalam magnum opus-nya Takwin
al-‘Aql al-‘Arabi, yang berkeinginan untuk melakukan peninjauan ulang
terhadap sejarah Peradaban Arab Islam dan sejarah terbentuknya nalar Arab serta
mekanisme berpikir yang berkembang didalamnya, (hal. 6) persis seperti yang
dilakukan Foucault terhadap peradaban Barat. Dalam kamus postmodernisme, upaya
ini disebut dengan genealogy masih merupakan rangkain
dari archeology of knowledge yang dipopulerkan Foucault.
Dalam upayanya
melakukan kerja berat ini, Jabiri banyak menggunakan ide-ide dari Foucault.
Salah satu diantaranya adalah konsep episteme. Jabiri menyebut episteme ini
dengan ‘aql atau al-nizam al-ma‘rifi. Jadi ‘aql menurut Jabiri
bukan kemampuan manusia untuk berpikir atau berefleksi seperti yang dipahami
selama ini. Akan tetapi ia lebih merupakan “seperangkat prinsip dan kaidah yang
disodorkan oleh Budaya Arab kepada mereka yang terkait dengannya sebagai dasar
untuk memperoleh pengetahuan.” (Takwin, 37) Definisi ini sangat dengan definisi
episteme Foucault yang menyatakan ia merupakan “the total set of relations
that unite, at a given period, the discursive practices that give rise to
epistemological figures, sciences, and possibly formalized systems…”
(Archeology of Knowledge, terj. Sheridan Smith, 191).
Konsep epsiteme ini
sepertinya juga hadir dalam pemikiran Arkoun. Bedanya adalah jika Jabiri
mengkategorisasikan episteme ini berdasarkan struktur epsitemologinya, Arkoun
membaginya berdasarkan periode sejarah (Klasik, Pertengahan, dan modern). Meski
demikian, baik Jabiri maupun Arkoun keduanya percaya bahwa saat ini masyarakat
Islam didominasi oleh nalar abad klasik dan pertengahan, yaitu bayani dan ‘irfani.
Salah satu ide Foucault
yang banyak diadopsi oleh cendikiawan Arab saat ini adalah persoalaan relasi
ilmu dan kekuasaan. Edward Said menggunakan konsep ini untuk membaca sepak
terjang para orientalis. Said berkesimpulan bahwa gerak kerja orientalisme
tidak sepenuhnya di dasari keinginan akademis, tapi juga oleh
kepentingan-kepentingan politik.
Jabiri juga menggunakan
framework yang sama ketika membaca sejarah panjang intelektual Islam. Dalam
penilaiannya munculnya trilogi episteme bayani, irfani, dan burhani diatas
tidak terlepas dari faktor-faktor sosio-politik yan terjadi saat itu. Jabiri
mengakui bahwa metode bayani murni lahir dari rahim peradaban Islam. Akan
tetapi dia menguat, ketika episteme ‘irfani mulai menancapkan cengkaramannya.
Episteme ‘irfani ini sendiri menurut Jabiri berasal dari luar Islam,
ditebarikan oleh Syiah sebagai bagian dari strategi perang budaya mereka untuk
merongrong kedaulatan negara yang berkuasa ketika itu. Tapi anehnya Jabiri
menuduh al-Ghazali, yang Sunni, disamping Ibn Sina sebagai orang yang
bertanggung jawab menebarkan episteme ini. Jika Ghazali memasukkannya lewat
pintu bayani, Ibn Sina menyebarkannya melalui pintu burhani. Intinya adalah
bahwa baik episteme bayani atau irfani keduanya lahir bukan disebabkan
kebutuhan umat untuk memahami agamanya, akan tetapi disebabkan oleh adanya
trik-trik politik.
Jika Jabiri menggunakan
konsep ini untuk membaca sejarah filsafat Islam, Arkoun mengaplikasikannya
untuk menilik sejarah penghimpunan Kitab Suci al-Qur’an. Arkoun mungkin
intelektual Arab yang pertama membaca al-Qur’an dengan kacamata Foucault ini.
Tokoh kelahiran Aljazair ini menyimpan keraguan akan otentitas al-Qur’an yang
ada saat ini. Dia melihat bahwa apa yang disebut sebagai Mushaf ‘Uthmani saat
ini merupakan rekayasa politik khalifah ‘Uthman untuk melanggengkan
kekuasaannya, sebuah pandangan yang telah dikritisi oleh banyak pihak.
Pandangannya seperti ini mungkin di ilhami oleh Foucault tadi yang selalu suspicious (curiga)
akan peran politik dalam proses pembentukan ilmu.
Masih konsep yang di
adopsi dan diaplikasikan oleh beberapa pemikir Arab untuk membaca warisan
pemikiran Islam konsep logosphere yang dikembangkan Arkoun,
diskursus, juga skeptisisme dan anti otoritas yang belakangan marak dikalangan
beberapa pemikir Muslim Arab. Seperti yang dijelaskan oleh Stuart Sim dalam
pengantarnya sebagai editor untuk buku The Routledge Companion to
Postmodernism bahwa salah satu inti ajaran postmodernisme adalah
skeptisisme; sekptik terhadap otoritas, kebijaksanaan yang diwarisi dari masa
silam, norma-norma kultur dan politik, dan lain-lain. Postmodernis menolak adanya
kemapanan (postmodernism is to be ragrded as a rejection, if not most, of
cultural certainties).
Lebih jauh Postmodernis
bahkan skeptik terhadap otoritas akal. Atas dasar inilah makanya postmodernis
menganggap semua orang bisa benar, tidak ada yang salah. Bagi mereka semua
orang sama, berada di pusat peredaran, tidak ada yang periperial atau
termarjinalkan. Celakanya adalah jika konsep ini diaplikasikan dalam tataran
ajaran Islam yang memiliki pandangan hidup permanen berdasarkan Wahyu.
[1]
Ahmed,Akbar, Postmodernism and islam, (New York: Routledge,1992)
[4] Frederic Jameson, Postmodenism or The Cultural Logic of Late Capitalism,
1989
[5] Harianto,GP, Postmodernisme dan Konsep Kekristenan, Jurnal Pelita
Zaman.vol.1 nomor 15,2001
[6] Jean Baudrillird, Kelahiran Postmodern, makalah tidak diterbitkan,
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar