Senin, 21 Januari 2013

Sejarah Kritik Sastra



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah
Dalam sejarah kritik sastra Aab, kritik sastra telah muncul sejak masa Jahiliyyah (Pra Islam) khususnya dalam moment Pasar Raya Ukaz yang tidak saja berfungsi sebagai pasar material. Tetapi juga sastra dan budaya yang melahirkan karya sasta al-muâllaqât (karya sastra monumentalyang digantung di dinding ka’bah).
            Al-Nabigah Al-Zibyâni misalnya, pernah mengkritik Hassânah bin Tsabit ketika Hassânah dalam syai’r nya menyebut kata jafnât (sarung-sarung pedang), asyâf (pedang-pedang) dan membnggakan anak keturunan. Menurut Al-Nabigah, diksi yang digunakan Hassânah kurang tepat, karena kata jafnâh dan asyâf merupakan kata jamak yang kejamakan (arti banyak)-nya minimal, tidak maksimal, seharusnya diksi yang dipilih adalah jafân dan suyûf yang makna jamaknya maksimal. Demikian pula membanggakan anak, menurut Al-Nabigah kurang tepat, karena bukan tradisi Arab Jahiliyyah yang domonan, seharusnya Hasânah mengungkapkan kalimat yang membanggakan nenek moyang.
            Pada masa awal Islam, Nabi sendiri bahkan pernah melakukan kritik terhadap syai’r-syai’r hajâ (ejekan) yang diungkapkan Hassan bin Tsabit, Ka’ab bin Malik dan Abdullah bin Rawahah, kketika mereka mela’wan sayai’r hajâ kaum Quraisy sabdanya, syai’r dua penyai’r yang disebut terakhir cukup baik dan yang paling baik adalah syai’r Hassana, karena penguasaannya terhadap peristiwa- peristiwa sejarah arab. [1]
            Selanjutnya, Umar  misalnya pernah memuji Zuhair bin Abi Sulma sebagai penyai’r terbaik, karena syai’r-syai’rnya yang tidak ada pengulangan. Kata, tidak menggunakan kata-kata asing, dan syair pujiannya yang berdasarkan kenyataan orang yang dipuji.
Pada Abad ke-2 (sekitar abad ke-8 M), lahirlah para kritikus seperti Umar bin ‘Ala dan al-Usmu’i yang me review banyak syair Jahiliyyah dan melakukan studi banding antara satu dengan yang lainnya. Periode ini merupakan periode tadwin (kodifikasi) terhadap syair-syair sebelumnya yang berserakan dalam hafalan orang-orang arab. Buku kodifikasi syair al-Usmu’i dinilai para ahli yang paling memiliki akurasi sastra Arab Jahiliyah karena ketelitiannya. Periode ini agaknya berbeda dengan periode sebelumnya, karena periode ini merupakan periode dimulainya tradisi tulis dalam kritik sastra Arab.
 Pada abad berikutnya (ke-3 H) kritik sastra mengalami perkembangan ketika muncul kritikus seperti Ibnu Qutaibah[2] yang menulis al-Syi’r wa al-Syu’ara dan Jahiz yang menulis Al-Bayan wa al-Tabyin. Kritik sastra pada masa ini mengandalkan ukuran kritik ketepatan kaidah, orisinalitas, gaya bahasa yang solid, ukuran maknanya yang baik, dengan menggunakan metode perbandingan. Bahkan kata Naqd atau kritik sendiri pertama kali digunakan untuk sastra pada abad ini. Sebab itu, pada abad ini membawa pada abad berikutnya yaitu abad ke-4 yang mengalami masa matang. Pada periode ini, definisi dan unsur-unsur syair dan orasi menjadi lebih jelas, munculnya kajian terhadap puisi dan estetika sastra, menguatnya ukuran orisinalitas dalam kritik, dan lahirnya metode badi’. Bahkan metode perbandingan yang telah muncul sejak abad ke-2 H menjadi sangat detail seperti perbandingan antara Abu Tamaan dan al- Buhturi. Diantara kritikus masa ini adalah Hasan bin Basyar al-Amidi yang menulis al-muwaazanah baina Aabi Tamaam wa al-Buhturi, dan Qudaamah bin Ja’far yang menulis Naqd al-Syu’ara.
Pada abad ke-5 adalah periode emas dimana kritik sastra Arab banyak memusatkan perhatiannya pada kenukjizatan puitika Al-Qur’an dan aspek estetika bayaan. Diantara kritikus yang lahir masa ini adalah Ibnu Rasyiiq al-Qairawani yang menulis al-Umdah fi Mahaasin al-Syi’ri wa Adabihi wa Naqdihi dan terutama ‘Abdul al-Qaahir al-Jurjaani yang menguasai teori sastra Plato dan Aristotels dan menulis buku terkenal Dalaail al-I’jaaz Asraar al-Balaagah.
Pada abad ke-6 hingga abad modern, kritik sastra mengalami kemandekan. Meskipun demikian, pada periode yang panjang ini sejarah kritik sastra Arab mengenal beberapa kritikus sastra antara lain adalah Ibnu Al-Asiir, sebagai kritikus terpenting yang menulis buku al-Misl al-Saa’ir. Yang harus menjadi catatan untuk sejarah kritik sastra Arab klasik dan pertengahan ini adalah bahwa sepanjang sejarah kritik sastra pada dua kategori masa besar ini, perhatian terhadap syair mendapatkan porsi jauh lebih besar ketimbang porsi prosa, karena kultur kritik sasta Arab pramodern adalah kultur syair bukan prosa.
Pada periode modern sejarah kritik sastra Arasb kemudian bangkit kembali dan bermunculan kritikus-kritikus sastra dengan berbagai kecenderungan atau trennya. Paling tidak ada empat tren atau aliran. Pertama, trend kritikus sastra klasik yang berpijak pada tradisi kritik sastra Arab murni yang dipengaruhi Al-Qur’an dan Hadits yang dipimpin oleh Musthafa Sadiq al-Raafi’i. Tren atau aliran ini sering disebut juga aliran Bayani yang mengikuti  model Jahiz dan ‘Abdul al-Qahir al Jurjani. Kedua, tren atau aliran kritikus Westrenis yang berpijak pada tradisi kritik sastra Barat, seperti aliran kritik realisme, marxisme, eksistensialisme, dan strukturalisme. Ketiga, tren atau lairan moderat yang menggabungkan tradisi kritik sastra Arab Islam dan Barat semisal Al-‘Aqqad.  Keempat, tren atau aliran kritikus Islamis semisal Muhammad Qutb yang menolak tradisi  kritik sastra Barat, khususnya kritik sstra marxisme dan realisme.[3]
Bangsa Arab memang dikenal dengan kebiasaan mereka menggubah syair untuk mengekspresikan gejolak-gejolak hati mereka. Tradisi ini termotivasi oleh beberapa faktor di antaranya adalah lingkungan tempat tinggal mereka yang memang sangat mendukung dan juga karena bahasa mereka yang sesungguhnya juga sangat puitis. Dan yang tak kalah pentingnya adalah potensi sensitifitas ‘athifah yang tinggi yang mereka miliki sangat mendukung dalam melahirkan beragam karya sastra yang puitis dan menakjubkan.
Dalam perjalanan sejarahnya, sastra Arab tidak timbul sekaligus dalam bentuknya yang sempurna. Akan tetapi sastra Arab mengalami perkembangan-perkembangannya secara sedikit demi sedikit dengan adanya inovasi-inovasi dalam setiap fase perkembangan yang dilaluinya. Adapun fase sejarah perkembangan sastra Arab dibagi menjadi masa jahiliyah, masa shadr al-Islam, Abbasiyyah, Turki Usmani dan masa modern.
Dalam setiap periode perkembangan tersebut, sastra Arab mengalami inovasi yang membedakannya dengan periode lainnya. Pada fase modern khususnya, ternyata sastra Arab memiliki berbagai aliran sastra yang muncul silih berganti, baik karena motivasi kritikan terhadap model sastra yang muncul sebelumnya maupun karena untuk menyempurnakan aliran lainnya yang muncul dalam kurun waktu yang sama. Aliran-aliran sastra Arab yang mengemuka di masa modern tersebut adalah al-Muhāfizūn (Neo-Klasik), ad-Diwān, Apollo, Romantisme. Simbolisme dan yang terakhir adalah Hadītsah (modern).[4]
2.2  Kritik  Sastra Dalam Terminologi Sastra
Sebelum mengungkap arti kritik sastra dalam khazanah sastra Arab, terlebih dahulu akan diurai pengertian kritik sastra secara umum. Secara etimologis kritik sastra berasal dari bahasa Yunani kuno krites yang berarti hakim. Bentuk aktif krites adalah krinein yang berarti menghkimi. Berdasarkan pandangan bahwa kritik sastra adalah sebuah penghakiman, maka dalam proses penghakiman diperlukan syarat-syarat untuk menghakimi karya sastra. Ini berarti sebuah karya sastra bisa dikatakan memenuhi standar sebagai sebuah karya seni harus berdasarkan kriteria tersebut. Kongkretnya, kriteria yang dimaksud bisa dipraktekkan dalam menilai sebuah karya puisi atau prosa. Tidak jauh dari pengertian tersebut C. Hugh Holman mengartikan bahwa critic adalah “one who estimates and passes judgment on the value and quality of literary or artistic work”, seseorang yang mengestimasi dan menjustifikasi nilai dan kualitas suatu karya sastra atau seni. Jika masalah penilai terhadap karya sastra adalah masalah benar salah, maka sastra sebagai seni kata tidak ubahnya dengan pernyataan yang lugas dalam sebuah pengadilan. Pernyataan benar salah yang berdasarkan kriteria tertentu dengan vertikasi sebagai validitas utama.
Makna lain dari kritik adalah upaya untuk menilai karya sastra bukan sebagai sebuah penghakiman dan justru melihat upaya penilaian dari segi estetis, yaitu segi indah dan buruk. Karya sastra memang tersusun dari bahasa sebagai bentuk norma yang dapat dirinci dengan benar dan salah, namun demikian karya sastra melampaui benar dan salah karena bahasa sastra mengandung kekhasan tersendiri. Landasan ini yang mendorong Hans Robert Jauss membedakan karya sastra sebagai bahasa khusus ( poetik) dan bahasa komunikasi sebagai bahasa praktis. Apresiasi terhadap bahasa khusus yang disebut dengan karya sastra disebut dengan asthetik. Kata asthetik (Jerman) dalam bahasa Indonesia bisa berarti estetika atau kritik sastra. Alangkah dekatnya arti “menilai sastra” dengan “keindahan” di dalamnya. Upaya menilai karya sastra juga berarti upaya untuk mengeksploitasi keindahan di dalamnya.
Penyebutan kritik sastra sebagai poetik tampaknya sudah ada sejak masa Aristoteles abad ke-4 SM. Aristoteles menyebut kritik sastra adalah dengan poetika yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sebagai فن الشعر. Poetika adalah kata benda yang berarti segala bentuk karya seni yang menggunakan media bahasa. Selain itu poetika juga mewadahi konsep apresiasi karya sastra, yakni komedia, tragedi dan epik. Sementara itu Abrams dalam Glossary to Literary Terms menerangkan bahwa kritik sastra adalah studi yang mengarah pada pendefinisian, klasifikasi, analisis dan evaluasi karya sastra. Dalam hal ini ia membedakan antara kritik sastra pada kritik teoritis (theoritical criticism) dan kritik praktis atau terapan (practical criticism). Kritik teoritis (theoritical criticism) berupaya untuk menetapkan suatu landasan dasar prinsip-prinsip yang bersifat umum, suatu pertalian logis dari beberapa istilah, membedakan dan memberi kategorisasi yang bisa diaplikasikan terhadap karya-karya sastra sebagai suatu “kriteria” (standar atau norma-norma) di mana karya-karya tersebut atau para penulisnya bisa dievaluasi. Sedangkan kritik praktis (practical criticism) lebih tertuju untuk mendiskusikan bagian-bagian dari karya sastra atau penulisnya. Dalam hal ini prinsip-prinsip yang bersifat teoritis berfungsi sebagai pengontrol analisis dan evaluasi yang dilakukan secara implisit atau membawanya hanya pada kecenderungan-kecenderungan sesaat. Senada dengan Abrams, Holman mendefinisikan bahwa kritik sastra adalah studi dan evaluasi karya seni seseorang, sebagaimana juga memformulasikan metodologi yang bersifat umum atau prinsip-prinsip estetika karya tersebut. Baik Holman maupun Abrams nampaknya sepakat bahwa di dalam kritik sastra terdapat dua sisi kajian yaitu teori dan praktek. Kedua bidang kajian tersebut mungkin saja sejalan atau mungkin juga dipertentangkan. Teori mesti dapat dioperasikan secara praktis sehingga dapat dipahami secara lebih rinci dan mendalam. Sementara praktek bisa saja merupakan pengaplikasian suatu teori. Dalam pengaplikasian inilah sebuah teori dibuktikan kebenaran, obyektifitas, sistematika, keumuman sekaligus aspek-aspek pragmatisnya. Dengan sendirinya teori tidak dapat dianggap valid apabila belum bisa diuji dalam praktek. Atau sebaliknya, teori didapatkan sebagai hasil dari suatu praktek.
Dalam konteks kesusastraan Indonesia, meskipun ada beberapa tokoh yang mengadopsi pengertian dari luar kritik sastra didefinisikan sebagai karya berbentuk prosa yang mengandung analisis dan wawasan tentang kelemahan, kekuatan dan nilai suatu karya sastra. Sedangkan orang yang pekerjaannya menulis kritik sastra disebut kritikus sastra. Menurut Partini yang terpenting di dalam kritik sastra adalah analisis. Mengutip Jassin, dia mengatakan bahwa kritik sastra adalah baik buruknya suatu hasil kesusastraan dengan memberikan alasan-alasan mengenai isi dan bentuknya. Dengan demikian kritik sastra merupakan kegiatan penilaian yang ditujukan pada karya atau teks. Karya yang dihasilkan dari proses kritik sastra tergolong ke dalam nonfiksi karena kritikus atau pembaca tidak menciptakan karya baru yang sama atau mirip dengan karya sastra yang telah dibacanya. Karya yang dihasilkannya adalah hasil dari penafsiran terhadap karya tertentu.
Mengingat kenyataan bahwa setiap karya sastra bukan materi yang ada dengan sendirinya melainkan materi yang diciptakan pengarang, kritik sastra mencakup segi-segi kepengarangan yang bersangkutan dengan hakikat karya sastra. Karena itu kritik sastra mempunyai tiga fungsi dilihat dari sudut pragmatisnya. Pertama, bagi pengarang berfungsi mengenalkan dan mengukuhkan karya ciptanya di samping sebagai cermin untuk melihat wujud dan nilai karyanya. Kedua, bagi masyarakat pembaca berfungsi sebagai jembatan antara pengarang dan karyanya dengan pembaca. Pembaca dapat tergugah untuk membaca sebuah karya sastra setelah membaca sebuah kritik tentang karya itu. Ketiga, bagi dunia kesusastraan berfungsi untuk pengembangan sastra. Dalam sebuah kritik karya sastra mendapat sentuhan ilmiah melalui berbagai wawasan dan metode kritik.
Di dalam kesusastraan Arab, kritik sastra dikenal dengan istilah an-naqd al-adab (النقد الأدبي) , kata naqd berarti kritik (criticism) sedangkan al-adabî kata yang disifatkan pada adab (literature/sastra). Menurut etimologi, kata an-naqd (النقد)sendiri mempunyai makna yang beragam. Di antara makna an-naqd menurut bahasa adalah pembayaran kontan, membedakan, memberikan kritikan, memukul dengan jari tangan untuk mengetes, mematuk, mengintai atau mencuri pandang, menimbang, menyengat dan menggigit. Dari sekian makna lugawi ini dapat dipahami bahwa kata naqd bermakna: (1) memberikan dengan segera sebagai lawan dari penangguhan pembayaran; (2) memilih atau membedakan sesuatu seperti memilih dirham (mata uang) yang baik dari yang buruk; (3) mencoba atau mengetes sesuatu untuk mengetahui keadaannya seperti memukul buah pala dengan telunjuk untuk mengetahui kualitasnya atau burung mematuk-matuk buah dengan paruhnya; (4) mencuri pandang ke arah sesuatu untuk memastikan atau mengetahui keadaan atau ukurannya; (5) menampakkan aib dan kejelekan seperti ular yang menggigit.
Meskipun mempunyai banyak makna secara bahasa, menurut Muhammad Hasan ‘Abdullâh, secara umum berputar pada dua makna sentral. Pertama, bermakna مادي (bersifat materi), karena itu kata naqd bisa berarti uang tunai atau pembayaran kontan, atau berarti emas dan perak pada kata النقدان. Kedua, bermakna التمييز (membedakan). Penggunaan kata tersebut dalam kalimat, baik secara leksikal maupun majasi mempunyai makna yang berdekatan. Kata naqd yang berarti membedakan antara yang bagus dengan yang jelek, kadang-kadang dihubungkan dengan puisi dan kadang-kadang dihubungkan pula dengan prosa. Menurut ‘Abd ar-Rasul al-Gifari, naqd diartikan dengan mengevaluasi sesuatu dan menetapkan hukum baik atau buruk terhadapnya. Kadang-kadang juga didefenisikan sebagai kreativitas sosial yang bergerak maju yang bertujuan untuk melepaskan hakikat-hakikat dan mempersembahkannya dalam bentuk yang murni pada masyarakat atau kelompok, atau diartikan juga sebagai cermin yang memantulkan gambaran yang beragam tentang kehidupan dan seni. Namun jika wilayah kajiannya dibatasi pada kritik sastra, maka akan didapati suatu definisi yang lebih detail dan menyeluruh. Kata Naqd berasal dari kalimat naqd ad-darâhim, memilah dirham untuk memisahkan yang baik dari yang buruk. Penggunaan istilah ini mengalami perkembangan sejak dahulu yaitu untuk membedakan yang benar dari yang palsu dan menurut istilah dimaksudkan untuk memaparkan hasil karya sastra, menganalisis dan memberitahukan nilai estetikanya. Kemudian pemahaman tentang kritik lebih ringkas lagi menyentuh kekelemahan suatu teks. Bagi karya sastra, kritik dimaksudkan untuk menyingkap kekuatan dan kelemahannya, kebaikan dan keburukannya dan memunculkan hukum atas karya tersebut.
Istilah naqd dalam khazanah sastra Arab sudah ada semenjak dahulu, karena itu naqd sebenarnya adalah istilah kuno yang masih tetap eksis sampai sekarang. Kata ini sudah dikenal lebih dari dua abad sebelum Az-Zamakhsyarî (w. 238 H). Ibn Qudâmah menulis buku yang berjudul Naqd asy-Syi’r. Al-Âmadî (w. 371 H) menyebutkan kata an-naqd dan an-nuqqâd di dalam karyanya Al-Muwâzanah. Sementara Ibn Rasyîq (w. 463 H) memberi judul bukunya dengan Al-‘Umdah fî Sina’ah asy-Syi’r wa Naqdihi. Penggunaannya baik secara etimologi maupun secara terminologi tidak berbeda. Kritik sastra diartikan sebagai penerimaan, pengkajian, pemikiran dan pendiskusian teks-teks sastra dengan mengambil unsur-unsur keindahan di dalamnya dan memilah keburukannya. Kritik sastra adalah menampakkan kelemahan dan kebaikan yang terdapat dalam karya sastra. Kritik sastra adalah isyarat tentang keindahan yang dipuji dan sisi negatif untuk menyatakan kekurangan dan kesalahan. Kritik sastra adil dengan pembuktian dan memeriksa bukan dengan keinginan dan kecenderungan sesmata.
Badawî Tabânah memandang bahwa kritik adalah suatu karya sastra yang memperlihatkan sisi tatbiqî perasaan atau pengalaman, pengetahuan dan budaya kritikus lebih banyak daripada sisi nazarî, karena yang diperlukan ketika memulai teks sastra hampir sama di hadapan kritikus. Kritikus mempelajari karya untuk memahaminya, menganalisis untuk menentukan segi keindahannya kemudian mengungkapkan pendapatnya tentang karya itu karena tujuan karya kritiknya adalah untuk menentukan nilai sastra yang benar. Tabânah menambahkan bahwa wilayah kritik sastra semakin meluas mencakup “penetapan karya sastra dari segi estetika, menerangkan nilai sastra dari segi tematik, pengungkapan dan emotif, menentukan posisinya dalam dunia sastra, membatasi apa yang dapat dihubungkan dengan karya itu pada teks-teks sastra yang telah ada, mengukur keterpengaruhan dan pengaruhnya, meng-gambarkan keluasan kekerabatannya, ciri khasnya dalam emosi dan pengungkapan, menyingkap faktor-faktor psikologis yang ber-pengaruh dalam penciptaannya serta faktor-faktor luar lainnya”.
Nampaknya Tabânah tidak perlu berpikir keras untuk mengeliminasi satu aspek dan mengunggulkan aspek yang lainnya. Perhatikan bagaimana ia merangkai kata tatbiqî dengan kata nazarî yang mesti dimiliki seorang kritikus dan bagaimana ia menerangkan wilayah kajian kritik yang mencakup aspek-aspek yang tidak bisa diukur seperti estetika dan emotif dan aspek-aspek lain yang bisa diukur. Kata tatbiqî selalu terkait dengan keahlian, kreatifitas dan aplikasi sementara nazarî selalu diasumsikan sebagai sesuatu yang positivistik, terukur dan obyektif. Sementara itu “estetika” selalu diasumsikan subyektif, tidak terukur dan spekulatif digabungkan dengan hal-hal yang bisa diukur (bersifat sainstifik) seperti pengungkapan (aspek-aspek kebahasaan) dan tematik. Tetapi kemudian dua kubu yang masing-masing mempunyai sifat oposisional digabungkan sebagai suatu wacana yang lebih umum dalam kritik sastra. Estetika menghasilkan suatu interpretasi (tafsir) sedangkan sains menghasilkan suatu evaluasi.
Kritik sastra sebagai suatu upaya untuk mengoreksi dan menilai karya sastra, baik dari segi ilmiahnya maupun segi artistiknya dituntut mampu memberi kesegaran bagi kegersangan ilmiah. Di samping itu, kritik sastra juga harus mempunyai gaya bahasa yang indah agar dapat memberi kenikmatan bagi pembacanya. Karena itu tidak mengherankan jika kritik sastra cenderung bersifat analitis dalam melakukan evaluasi dan tafsir karya sastra. Dalam satu sisi tampak bahwa kritik sastra merupakan karya ilmiah dan di sisi lain sebagai karya seni. Sebagai karya ilmiah, kritik sastra memerlukan pengkajian dan pengamatan atas kekurangan dan kelebihannya serta membutuhkan penerapan prinsip-prinsip umum. Sebagai karya seni, kritik sastra termasuk produk yang dapat membangkitkan kegairahan atau semangat. Dua aspek yaitu memberi penerangan dan penjelasan dari segi keilmuan serta memberi kepuasan dari segi keindahan dan kenikmatan sastra tampaknya menjadi dua sisi yang harus ada dalam kritik sastra.[5]






[1]Sukron Kamil, Kritik Sastra Arab,(Jakarta: Rajawali Pers, 2009),  hal 56-.57
[2]Nama sebenarnya adalah Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah ad Dainury, ia seorang ahli lughah yang terkenal. Beliau menerima hadits dari Ishaq bin Rahawaih, Abu Ishaq Ibrahim Aziyady, Abu Hatim as Sijistany. Hadits haditsnya diriwayatkan oleh anaknya Ja’far Ahmad al Faqih, dan diantara orang yang mengeluarkan hadits dari Ibnu Qutaibah adalah Ibnu Dusturih al Farisy. Ia banyak mengarang kitab yang bermanfaat diantaranya adalah kitab Gharibul Quran, Gharibul Hadits, Uyunul Akhbar, Musykilul Quran, Musykilul Hadits, Kitab I’rabil quranal Ma’arif dan adabul katab. Ibnu Taimiyyah berkata,” Ibnu Qutaibah seorang ulama yang cenderung kepada mazhab ahmad bin Ishaq, ia seorang juru bicara ahli hadist”.

[3]Sukron Kamil, Kritik Sastra Arab,(Jakarta: Rajawali Pers, 2009),  hal.57-59

Tidak ada komentar:

Posting Komentar