BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah
Dalam sejarah kritik sastra Aab, kritik sastra telah muncul sejak
masa Jahiliyyah (Pra Islam) khususnya dalam moment Pasar Raya Ukaz yang tidak
saja berfungsi sebagai pasar material. Tetapi juga sastra dan budaya yang
melahirkan karya sasta al-muâllaqât (karya sastra monumentalyang digantung di
dinding ka’bah).
Al-Nabigah Al-Zibyâni misalnya,
pernah mengkritik Hassânah bin Tsabit ketika Hassânah dalam syai’r nya menyebut
kata jafnât (sarung-sarung pedang), asyâf (pedang-pedang) dan membnggakan anak
keturunan. Menurut Al-Nabigah, diksi yang digunakan Hassânah kurang tepat,
karena kata jafnâh dan asyâf merupakan kata jamak yang kejamakan (arti
banyak)-nya minimal, tidak maksimal, seharusnya diksi yang dipilih adalah jafân
dan suyûf yang makna jamaknya maksimal. Demikian pula membanggakan anak,
menurut Al-Nabigah kurang tepat, karena bukan tradisi Arab Jahiliyyah yang
domonan, seharusnya Hasânah mengungkapkan kalimat yang membanggakan nenek
moyang.
Pada masa awal Islam, Nabi sendiri
bahkan pernah melakukan kritik terhadap syai’r-syai’r hajâ (ejekan) yang
diungkapkan Hassan bin Tsabit, Ka’ab bin Malik dan Abdullah bin Rawahah,
kketika mereka mela’wan sayai’r hajâ kaum Quraisy sabdanya, syai’r dua penyai’r
yang disebut terakhir cukup baik dan yang paling baik adalah syai’r Hassana,
karena penguasaannya terhadap peristiwa- peristiwa sejarah arab. [1]
Selanjutnya, Umar misalnya pernah memuji Zuhair bin Abi Sulma
sebagai penyai’r terbaik, karena syai’r-syai’rnya yang tidak ada pengulangan.
Kata, tidak menggunakan kata-kata asing, dan syair pujiannya yang berdasarkan
kenyataan orang yang dipuji.
Pada Abad ke-2 (sekitar abad ke-8 M), lahirlah para kritikus
seperti Umar bin ‘Ala dan al-Usmu’i yang me review banyak syair
Jahiliyyah dan melakukan studi banding antara satu dengan yang lainnya. Periode
ini merupakan periode tadwin (kodifikasi) terhadap syair-syair
sebelumnya yang berserakan dalam hafalan orang-orang arab. Buku kodifikasi
syair al-Usmu’i dinilai para ahli yang paling memiliki akurasi sastra Arab
Jahiliyah karena ketelitiannya. Periode ini agaknya berbeda dengan periode
sebelumnya, karena periode ini merupakan periode dimulainya tradisi tulis dalam
kritik sastra Arab.
Pada abad berikutnya (ke-3
H) kritik sastra mengalami perkembangan ketika muncul kritikus seperti Ibnu
Qutaibah[2]
yang menulis al-Syi’r wa al-Syu’ara dan Jahiz yang menulis Al-Bayan wa
al-Tabyin. Kritik sastra pada masa ini mengandalkan ukuran kritik ketepatan
kaidah, orisinalitas, gaya bahasa yang solid, ukuran maknanya yang baik, dengan
menggunakan metode perbandingan. Bahkan kata Naqd atau kritik sendiri pertama
kali digunakan untuk sastra pada abad ini. Sebab itu, pada abad ini membawa
pada abad berikutnya yaitu abad ke-4 yang mengalami masa matang. Pada periode
ini, definisi dan unsur-unsur syair dan orasi menjadi lebih jelas, munculnya
kajian terhadap puisi dan estetika sastra, menguatnya ukuran orisinalitas dalam
kritik, dan lahirnya metode badi’. Bahkan metode perbandingan yang telah muncul
sejak abad ke-2 H menjadi sangat detail seperti perbandingan antara Abu Tamaan
dan al- Buhturi. Diantara kritikus masa ini adalah Hasan bin Basyar al-Amidi
yang menulis al-muwaazanah baina Aabi Tamaam wa al-Buhturi, dan Qudaamah bin
Ja’far yang menulis Naqd al-Syu’ara.
Pada abad ke-5 adalah periode emas dimana kritik sastra Arab banyak
memusatkan perhatiannya pada kenukjizatan puitika Al-Qur’an dan aspek estetika
bayaan. Diantara kritikus yang lahir masa ini adalah Ibnu Rasyiiq al-Qairawani
yang menulis al-Umdah fi Mahaasin al-Syi’ri wa Adabihi wa Naqdihi dan terutama
‘Abdul al-Qaahir al-Jurjaani yang menguasai teori sastra Plato dan Aristotels
dan menulis buku terkenal Dalaail al-I’jaaz Asraar al-Balaagah.
Pada abad ke-6 hingga abad modern, kritik sastra mengalami
kemandekan. Meskipun demikian, pada periode yang panjang ini sejarah kritik
sastra Arab mengenal beberapa kritikus sastra antara lain adalah Ibnu Al-Asiir,
sebagai kritikus terpenting yang menulis buku al-Misl al-Saa’ir. Yang harus
menjadi catatan untuk sejarah kritik sastra Arab klasik dan pertengahan ini
adalah bahwa sepanjang sejarah kritik sastra pada dua kategori masa besar ini,
perhatian terhadap syair mendapatkan porsi jauh lebih besar ketimbang porsi
prosa, karena kultur kritik sasta Arab pramodern adalah kultur syair bukan
prosa.
Pada periode modern sejarah kritik sastra Arasb kemudian bangkit
kembali dan bermunculan kritikus-kritikus sastra dengan berbagai kecenderungan
atau trennya. Paling tidak ada empat tren atau aliran. Pertama, trend
kritikus sastra klasik yang berpijak pada tradisi kritik sastra Arab murni yang
dipengaruhi Al-Qur’an dan Hadits yang dipimpin oleh Musthafa Sadiq al-Raafi’i.
Tren atau aliran ini sering disebut juga aliran Bayani yang
mengikuti model Jahiz dan ‘Abdul
al-Qahir al Jurjani. Kedua, tren atau aliran kritikus Westrenis yang
berpijak pada tradisi kritik sastra Barat, seperti aliran kritik realisme,
marxisme, eksistensialisme, dan strukturalisme. Ketiga, tren atau lairan
moderat yang menggabungkan tradisi kritik sastra Arab Islam dan Barat semisal
Al-‘Aqqad. Keempat, tren atau
aliran kritikus Islamis semisal Muhammad Qutb yang menolak tradisi kritik sastra Barat, khususnya kritik sstra
marxisme dan realisme.[3]
Bangsa Arab memang dikenal dengan kebiasaan mereka
menggubah syair untuk mengekspresikan gejolak-gejolak hati mereka. Tradisi ini
termotivasi oleh beberapa faktor di antaranya adalah lingkungan tempat tinggal
mereka yang memang sangat mendukung dan juga karena bahasa mereka yang
sesungguhnya juga sangat puitis. Dan yang tak kalah pentingnya adalah potensi
sensitifitas ‘athifah yang tinggi yang mereka miliki sangat mendukung dalam
melahirkan beragam karya sastra yang puitis dan menakjubkan.
Dalam perjalanan sejarahnya, sastra Arab tidak timbul
sekaligus dalam bentuknya yang sempurna. Akan tetapi sastra Arab mengalami
perkembangan-perkembangannya secara sedikit demi sedikit dengan adanya
inovasi-inovasi dalam setiap fase perkembangan yang dilaluinya. Adapun fase
sejarah perkembangan sastra Arab dibagi menjadi masa jahiliyah, masa shadr
al-Islam, Abbasiyyah, Turki Usmani dan masa modern.
Dalam setiap periode perkembangan tersebut, sastra
Arab mengalami inovasi yang membedakannya dengan periode lainnya. Pada fase
modern khususnya, ternyata sastra Arab memiliki berbagai aliran sastra yang
muncul silih berganti, baik karena motivasi kritikan terhadap model sastra yang
muncul sebelumnya maupun karena untuk menyempurnakan aliran lainnya yang muncul
dalam kurun waktu yang sama. Aliran-aliran sastra Arab yang mengemuka di masa
modern tersebut adalah al-Muhāfizūn (Neo-Klasik), ad-Diwān, Apollo, Romantisme.
Simbolisme dan yang terakhir adalah Hadītsah (modern).[4]
2.2
Kritik Sastra Dalam
Terminologi Sastra
Sebelum mengungkap arti kritik sastra dalam
khazanah sastra Arab, terlebih dahulu akan diurai pengertian kritik sastra
secara umum. Secara etimologis kritik sastra berasal dari bahasa Yunani kuno
krites yang berarti hakim. Bentuk aktif krites adalah krinein yang berarti
menghkimi. Berdasarkan pandangan bahwa kritik sastra adalah sebuah penghakiman,
maka dalam proses penghakiman diperlukan syarat-syarat untuk menghakimi karya
sastra. Ini berarti sebuah karya sastra bisa dikatakan memenuhi standar sebagai
sebuah karya seni harus berdasarkan kriteria tersebut. Kongkretnya, kriteria
yang dimaksud bisa dipraktekkan dalam menilai sebuah karya puisi atau prosa.
Tidak jauh dari pengertian tersebut C. Hugh Holman mengartikan bahwa critic
adalah “one who estimates and passes judgment on the value and quality of
literary or artistic work”, seseorang yang mengestimasi dan menjustifikasi
nilai dan kualitas suatu karya sastra atau seni. Jika masalah penilai terhadap
karya sastra adalah masalah benar salah, maka sastra sebagai seni kata tidak
ubahnya dengan pernyataan yang lugas dalam sebuah pengadilan. Pernyataan benar
salah yang berdasarkan kriteria tertentu dengan vertikasi sebagai validitas
utama.
Makna lain dari kritik adalah upaya untuk menilai
karya sastra bukan sebagai sebuah penghakiman dan justru melihat upaya
penilaian dari segi estetis, yaitu segi indah dan buruk. Karya sastra memang
tersusun dari bahasa sebagai bentuk norma yang dapat dirinci dengan benar dan
salah, namun demikian karya sastra melampaui benar dan salah karena bahasa
sastra mengandung kekhasan tersendiri. Landasan ini yang mendorong Hans Robert
Jauss membedakan karya sastra sebagai bahasa khusus ( poetik) dan bahasa
komunikasi sebagai bahasa praktis. Apresiasi terhadap bahasa khusus yang
disebut dengan karya sastra disebut dengan asthetik. Kata asthetik (Jerman)
dalam bahasa Indonesia bisa berarti estetika atau kritik sastra. Alangkah
dekatnya arti “menilai sastra” dengan “keindahan” di dalamnya. Upaya menilai
karya sastra juga berarti upaya untuk mengeksploitasi keindahan di dalamnya.
Penyebutan kritik sastra sebagai poetik tampaknya
sudah ada sejak masa Aristoteles abad ke-4 SM. Aristoteles menyebut kritik
sastra adalah dengan poetika yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sebagai فن الشعر.
Poetika adalah kata benda yang berarti segala bentuk karya seni yang
menggunakan media bahasa. Selain itu poetika juga mewadahi konsep apresiasi
karya sastra, yakni komedia, tragedi dan epik. Sementara itu Abrams dalam
Glossary to Literary Terms menerangkan bahwa kritik sastra adalah studi yang
mengarah pada pendefinisian, klasifikasi, analisis dan evaluasi karya sastra.
Dalam hal ini ia membedakan antara kritik sastra pada kritik teoritis
(theoritical criticism) dan kritik praktis atau terapan (practical criticism).
Kritik teoritis (theoritical criticism) berupaya untuk menetapkan suatu
landasan dasar prinsip-prinsip yang bersifat umum, suatu pertalian logis dari
beberapa istilah, membedakan dan memberi kategorisasi yang bisa diaplikasikan
terhadap karya-karya sastra sebagai suatu “kriteria” (standar atau norma-norma)
di mana karya-karya tersebut atau para penulisnya bisa dievaluasi. Sedangkan
kritik praktis (practical criticism) lebih tertuju untuk mendiskusikan
bagian-bagian dari karya sastra atau penulisnya. Dalam hal ini prinsip-prinsip
yang bersifat teoritis berfungsi sebagai pengontrol analisis dan evaluasi yang
dilakukan secara implisit atau membawanya hanya pada
kecenderungan-kecenderungan sesaat. Senada dengan Abrams, Holman mendefinisikan
bahwa kritik sastra adalah studi dan evaluasi karya seni seseorang, sebagaimana
juga memformulasikan metodologi yang bersifat umum atau prinsip-prinsip
estetika karya tersebut. Baik Holman maupun Abrams nampaknya sepakat bahwa di
dalam kritik sastra terdapat dua sisi kajian yaitu teori dan praktek. Kedua
bidang kajian tersebut mungkin saja sejalan atau mungkin juga dipertentangkan.
Teori mesti dapat dioperasikan secara praktis sehingga dapat dipahami secara
lebih rinci dan mendalam. Sementara praktek bisa saja merupakan pengaplikasian
suatu teori. Dalam pengaplikasian inilah sebuah teori dibuktikan kebenaran,
obyektifitas, sistematika, keumuman sekaligus aspek-aspek pragmatisnya. Dengan
sendirinya teori tidak dapat dianggap valid apabila belum bisa diuji dalam praktek.
Atau sebaliknya, teori didapatkan sebagai hasil dari suatu praktek.
Dalam konteks kesusastraan Indonesia, meskipun ada
beberapa tokoh yang mengadopsi pengertian dari luar kritik sastra didefinisikan
sebagai karya berbentuk prosa yang mengandung analisis dan wawasan tentang
kelemahan, kekuatan dan nilai suatu karya sastra. Sedangkan orang yang
pekerjaannya menulis kritik sastra disebut kritikus sastra. Menurut Partini
yang terpenting di dalam kritik sastra adalah analisis. Mengutip Jassin, dia
mengatakan bahwa kritik sastra adalah baik buruknya suatu hasil kesusastraan
dengan memberikan alasan-alasan mengenai isi dan bentuknya. Dengan demikian
kritik sastra merupakan kegiatan penilaian yang ditujukan pada karya atau teks.
Karya yang dihasilkan dari proses kritik sastra tergolong ke dalam nonfiksi
karena kritikus atau pembaca tidak menciptakan karya baru yang sama atau mirip
dengan karya sastra yang telah dibacanya. Karya yang dihasilkannya adalah hasil
dari penafsiran terhadap karya tertentu.
Mengingat kenyataan bahwa setiap karya sastra
bukan materi yang ada dengan sendirinya melainkan materi yang diciptakan
pengarang, kritik sastra mencakup segi-segi kepengarangan yang bersangkutan
dengan hakikat karya sastra. Karena itu kritik sastra mempunyai tiga fungsi
dilihat dari sudut pragmatisnya. Pertama, bagi pengarang berfungsi mengenalkan
dan mengukuhkan karya ciptanya di samping sebagai cermin untuk melihat wujud
dan nilai karyanya. Kedua, bagi masyarakat pembaca berfungsi sebagai jembatan
antara pengarang dan karyanya dengan pembaca. Pembaca dapat tergugah untuk
membaca sebuah karya sastra setelah membaca sebuah kritik tentang karya itu.
Ketiga, bagi dunia kesusastraan berfungsi untuk pengembangan sastra. Dalam
sebuah kritik karya sastra mendapat sentuhan ilmiah melalui berbagai wawasan
dan metode kritik.
Di dalam kesusastraan Arab, kritik sastra dikenal
dengan istilah an-naqd al-adab (النقد الأدبي) , kata naqd berarti kritik (criticism)
sedangkan al-adabî kata yang disifatkan pada adab (literature/sastra). Menurut
etimologi, kata an-naqd (النقد)sendiri mempunyai makna yang beragam. Di antara makna an-naqd
menurut bahasa adalah pembayaran kontan, membedakan, memberikan kritikan,
memukul dengan jari tangan untuk mengetes, mematuk, mengintai atau mencuri
pandang, menimbang, menyengat dan menggigit. Dari sekian makna lugawi ini dapat
dipahami bahwa kata naqd bermakna: (1) memberikan dengan segera sebagai lawan
dari penangguhan pembayaran; (2) memilih atau membedakan sesuatu seperti
memilih dirham (mata uang) yang baik dari yang buruk; (3) mencoba atau mengetes
sesuatu untuk mengetahui keadaannya seperti memukul buah pala dengan telunjuk
untuk mengetahui kualitasnya atau burung mematuk-matuk buah dengan paruhnya;
(4) mencuri pandang ke arah sesuatu untuk memastikan atau mengetahui keadaan
atau ukurannya; (5) menampakkan aib dan kejelekan seperti ular yang menggigit.
Meskipun mempunyai banyak makna secara bahasa,
menurut Muhammad Hasan ‘Abdullâh, secara umum berputar pada dua makna sentral.
Pertama, bermakna مادي (bersifat materi), karena itu kata naqd bisa berarti uang tunai
atau pembayaran kontan, atau berarti emas dan perak pada kata النقدان. Kedua,
bermakna التمييز (membedakan). Penggunaan kata tersebut dalam kalimat, baik
secara leksikal maupun majasi mempunyai makna yang berdekatan. Kata naqd yang
berarti membedakan antara yang bagus dengan yang jelek, kadang-kadang
dihubungkan dengan puisi dan kadang-kadang dihubungkan pula dengan prosa.
Menurut ‘Abd ar-Rasul al-Gifari, naqd diartikan dengan mengevaluasi sesuatu dan
menetapkan hukum baik atau buruk terhadapnya. Kadang-kadang juga didefenisikan
sebagai kreativitas sosial yang bergerak maju yang bertujuan untuk melepaskan
hakikat-hakikat dan mempersembahkannya dalam bentuk yang murni pada masyarakat
atau kelompok, atau diartikan juga sebagai cermin yang memantulkan gambaran
yang beragam tentang kehidupan dan seni. Namun jika wilayah kajiannya dibatasi
pada kritik sastra, maka akan didapati suatu definisi yang lebih detail dan
menyeluruh. Kata Naqd berasal dari kalimat naqd ad-darâhim, memilah dirham
untuk memisahkan yang baik dari yang buruk. Penggunaan istilah ini mengalami
perkembangan sejak dahulu yaitu untuk membedakan yang benar dari yang palsu dan
menurut istilah dimaksudkan untuk memaparkan hasil karya sastra, menganalisis
dan memberitahukan nilai estetikanya. Kemudian pemahaman tentang kritik lebih
ringkas lagi menyentuh kekelemahan suatu teks. Bagi karya sastra, kritik
dimaksudkan untuk menyingkap kekuatan dan kelemahannya, kebaikan dan
keburukannya dan memunculkan hukum atas karya tersebut.
Istilah naqd dalam khazanah sastra Arab sudah ada
semenjak dahulu, karena itu naqd sebenarnya adalah istilah kuno yang masih
tetap eksis sampai sekarang. Kata ini sudah dikenal lebih dari dua abad sebelum
Az-Zamakhsyarî (w. 238 H). Ibn Qudâmah menulis buku yang berjudul Naqd
asy-Syi’r. Al-Âmadî (w. 371 H) menyebutkan kata an-naqd dan an-nuqqâd di dalam
karyanya Al-Muwâzanah. Sementara Ibn Rasyîq (w. 463 H) memberi judul bukunya
dengan Al-‘Umdah fî Sina’ah asy-Syi’r wa Naqdihi. Penggunaannya baik secara
etimologi maupun secara terminologi tidak berbeda. Kritik sastra diartikan
sebagai penerimaan, pengkajian, pemikiran dan pendiskusian teks-teks sastra
dengan mengambil unsur-unsur keindahan di dalamnya dan memilah keburukannya.
Kritik sastra adalah menampakkan kelemahan dan kebaikan yang terdapat dalam
karya sastra. Kritik sastra adalah isyarat tentang keindahan yang dipuji dan
sisi negatif untuk menyatakan kekurangan dan kesalahan. Kritik sastra adil
dengan pembuktian dan memeriksa bukan dengan keinginan dan kecenderungan
sesmata.
Badawî Tabânah memandang bahwa kritik adalah suatu
karya sastra yang memperlihatkan sisi tatbiqî perasaan atau pengalaman,
pengetahuan dan budaya kritikus lebih banyak daripada sisi nazarî, karena yang
diperlukan ketika memulai teks sastra hampir sama di hadapan kritikus. Kritikus
mempelajari karya untuk memahaminya, menganalisis untuk menentukan segi
keindahannya kemudian mengungkapkan pendapatnya tentang karya itu karena tujuan
karya kritiknya adalah untuk menentukan nilai sastra yang benar. Tabânah
menambahkan bahwa wilayah kritik sastra semakin meluas mencakup “penetapan
karya sastra dari segi estetika, menerangkan nilai sastra dari segi tematik,
pengungkapan dan emotif, menentukan posisinya dalam dunia sastra, membatasi apa
yang dapat dihubungkan dengan karya itu pada teks-teks sastra yang telah ada,
mengukur keterpengaruhan dan pengaruhnya, meng-gambarkan keluasan
kekerabatannya, ciri khasnya dalam emosi dan pengungkapan, menyingkap
faktor-faktor psikologis yang ber-pengaruh dalam penciptaannya serta
faktor-faktor luar lainnya”.
Nampaknya Tabânah tidak perlu berpikir keras untuk
mengeliminasi satu aspek dan mengunggulkan aspek yang lainnya. Perhatikan
bagaimana ia merangkai kata tatbiqî dengan kata nazarî yang mesti dimiliki
seorang kritikus dan bagaimana ia menerangkan wilayah kajian kritik yang
mencakup aspek-aspek yang tidak bisa diukur seperti estetika dan emotif dan
aspek-aspek lain yang bisa diukur. Kata tatbiqî selalu terkait dengan keahlian,
kreatifitas dan aplikasi sementara nazarî selalu diasumsikan sebagai sesuatu
yang positivistik, terukur dan obyektif. Sementara itu “estetika” selalu
diasumsikan subyektif, tidak terukur dan spekulatif digabungkan dengan hal-hal
yang bisa diukur (bersifat sainstifik) seperti pengungkapan (aspek-aspek
kebahasaan) dan tematik. Tetapi kemudian dua kubu yang masing-masing mempunyai
sifat oposisional digabungkan sebagai suatu wacana yang lebih umum dalam kritik
sastra. Estetika menghasilkan suatu interpretasi (tafsir) sedangkan sains
menghasilkan suatu evaluasi.
Kritik sastra sebagai suatu upaya untuk mengoreksi
dan menilai karya sastra, baik dari segi ilmiahnya maupun segi artistiknya
dituntut mampu memberi kesegaran bagi kegersangan ilmiah. Di samping itu,
kritik sastra juga harus mempunyai gaya bahasa yang indah agar dapat memberi
kenikmatan bagi pembacanya. Karena itu tidak mengherankan jika kritik sastra
cenderung bersifat analitis dalam melakukan evaluasi dan tafsir karya sastra.
Dalam satu sisi tampak bahwa kritik sastra merupakan karya ilmiah dan di sisi
lain sebagai karya seni. Sebagai karya ilmiah, kritik sastra memerlukan
pengkajian dan pengamatan atas kekurangan dan kelebihannya serta membutuhkan
penerapan prinsip-prinsip umum. Sebagai karya seni, kritik sastra termasuk
produk yang dapat membangkitkan kegairahan atau semangat. Dua aspek yaitu
memberi penerangan dan penjelasan dari segi keilmuan serta memberi kepuasan
dari segi keindahan dan kenikmatan sastra tampaknya menjadi dua sisi yang harus
ada dalam kritik sastra.[5]
[1]Sukron Kamil, Kritik Sastra
Arab,(Jakarta: Rajawali Pers, 2009),
hal 56-.57
[2]Nama
sebenarnya adalah Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah ad Dainury, ia
seorang ahli lughah yang terkenal. Beliau menerima hadits dari Ishaq bin
Rahawaih, Abu Ishaq Ibrahim Aziyady, Abu Hatim as Sijistany. Hadits haditsnya
diriwayatkan oleh anaknya Ja’far Ahmad al Faqih, dan diantara orang yang
mengeluarkan hadits dari Ibnu Qutaibah adalah Ibnu Dusturih al Farisy. Ia
banyak mengarang kitab yang bermanfaat diantaranya adalah kitab Gharibul Quran,
Gharibul Hadits, Uyunul Akhbar, Musykilul Quran, Musykilul Hadits, Kitab
I’rabil quranal Ma’arif dan adabul katab. Ibnu Taimiyyah berkata,” Ibnu
Qutaibah seorang ulama yang cenderung kepada mazhab ahmad bin Ishaq, ia seorang
juru bicara ahli hadist”.
[3]Sukron Kamil, Kritik Sastra
Arab,(Jakarta: Rajawali Pers, 2009),
hal.57-59
Tidak ada komentar:
Posting Komentar