.
Kehidupan Sosial dan Politik pada Masa Bani Abbasiyyah[1]
Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah sebelumnya dari Bani
Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah Abdullah
al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-AbbasRahimahullah. Pola pemerintahan yang diterapkan oleh Daulah Abbasiyah
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Kekuasaannya
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s/d. 656
H (1258 M).
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya.
Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan
agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat
tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun
dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M.
Selanjutnya digantikan oleh Abu Ja'far
al-Manshur (754-775 M.), yang keras menghadapi
lawan-lawannya terutama dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syi'ah. Untuk memperkuat kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi
saingan baginya satu per satu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin
Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir dibunuh karena tidak bersedia membaiatnya, al-Manshur
memerintahkan Abu Muslim
al-Khurasani melakukannya, dan
kemudian menghukum mati Abu Muslim al-Khurasani pada tahun 755 M., karena
dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya.
Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru
berdiri itu, al-Mansyur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru
dibangunnya, Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas
berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Manshur melakukan konsolidasi dan penertiban
pemerintahannya, di antaranya dengan membuat semacam lembaga eksekutif dan
yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan
mengangkat Wazir sebagai koordinator dari kementrian yang ada, Wazir pertama yang
diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia. Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan
kepolisian negara disamping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn
Abdurrahman sebagai hakim
pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti
Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya
sekedar untuk mengantar surat. Pada masa al-Manshur, jawatan pos ditugaskan
untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi
kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan
tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
Khalifah al-Manshur berusaha
menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari
pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha
tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758 M. ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekatiselat
Bosphorus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama gencatan senjata 758-765 M., Bizantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan
pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oxus dan India.
Dengan demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke
generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut Nabi sebagaimana pada
masa al- Khulafa' al-Rasyiduun. Disamping itu, berbeda dari daulat Bani Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai "gelar tahta", seperti
al-Manshur, dan belakangan gelar tahta ini lebih populer daripada nama yang
sebenarnya.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan dan dibangun
oleh Abu al-Abbas as-Saffah dan al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti
ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775- 786 M), Harun
Ar-Rasyid (786-809 M), al-Ma'mun (813-833 M), al-Mu'tashim (833-842 M), al-Watsiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian
melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga
dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak
membawa kekayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.
Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun
Ar-Rasyid Rahimahullah (786-809 M.) dan
puteranya al-Ma'mun (813-833 M.).
Kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, dan
mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi. Pada masanya
sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu,
pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan,
pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada
zaman keemasannya. Pada masa inilah negaraIslam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
Al-Ma'mun, pengganti Harun Ar-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta
kepada ilmu filsafat. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing
digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli (wa laa haula wa laa quwwata illaa
billaah). Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang
terpenting adalah pembangunan Baitul-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi
sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masaAl-Ma'mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Mu'tasim, khalifah berikutnya (833-842 M.), memberi peluang besar kepada
orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai
sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan
perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi
prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Bani
Abbas menjadi sangat kuat. Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan
dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas
sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Bani
Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika Utara, gerakan Zindiq di Persia, gerakan Syi'ah, dan konflik antar bangsa dan aliran pemikiran keagamaan, semuanya dapat
dipadamkan.
Dari gambaran di atas
Bani Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan
kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah.
Kekhalifahan Abbasiyah
adalah yang pertama kali mengorganisasikan penggunaan tentara-tentara budak yang disebut Mamluk pada abad ke-9. Dibentuk oleh Al-Ma'mun, tentara-tentara budak ini didominasi oleh bangsa Turki tetapi juga banyak diisi oleh bangsa Berber dari Afrika Utara dan Slav dari Eropa Timur. Ini adalah suatu
inovasi sebab sebelumnya yang digunakan adalah tentara bayaran dari Turki.
Bagaimanapun tentara
Mamluk membantu sekaligus menyulitkan kekhalifahan Abbasiyah. karena berbagai
kondisi yang ada di umat muslim saat itu pada akhirnya kekhalifahan ini hanya menjadi simbol dan
bahkan tentara Mamluk ini, yang kemudian dikenal dengan Bani
Mamalik berhasil berkuasa, yang pada mulanya mengambil inisiatif merebut
kekuasaan kerajaan Ayyubiyyah yang pada masa
itu merupakan kepanjangan tangan dari khilafah Bani Abbas, hal ini disebabkan
karena para penguasa Ayyubiyyah waktu itu kurang tegas dalam memimpin kerajaan.
Bani Mamalik ini mendirikan kesultanan sendiri di Mesir dan memindahkan ibu kota dari Baghdad ke Cairo setelah berbagai serangan dari tentara tartar dan kehancuran Baghdad sendiri setelah serangan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan. Walaupun berkuasa Bani Mamalik tetap menyatakan diri berada di bawah
kekuasaan (simbolik) kekhalifahan, dimana khalifah Abbasiyyah tetap sebagai
kepala negara.
Pada masa Abbasiyyah politik juga mengalami kemunduran dengan faktor
perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, dengan membiarkan jabatan tetap
dipegang bani Abbas, karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan
yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi, sedangkan kekusaan dapat
didirikan di pusat maupun daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk
dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Di antara faktor lain yang menyebabkan
peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat
pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan
Islam sebelumnya. Tetapi, apa yang terjadi pada pemerintahan Abbasiyah berbeda
dengan yang terjadi sebelumnya.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan kekuasaan sering terjadi,
terutama di awal berdirinya. Akan tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti
terlihat pada periode kedua dan seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya,
tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Yang ada
hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap
dipegang Bani Abbas. Hal ini terjadi karena khalifah sudah dianggap sebagai
jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Sedangkan
kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun di daerah yang jauh dari pusat
pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut. Di tangan mereka khalifah
bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih
dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka. Setelah
kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode
ketiga (334-447 H/l055 M.), daulah Abbasiyah berada di bawah pengaruh kekuasaan
Bani Buwaih yang berpaham Syi'ah.
2. Sastra pada Masa Abbasiyyah[2]
Masa Bani
Abbasiyah sering disebut-sebut sebagai Masa Keemasan Islam, pada masa ini
geliat intelektual dan perkembangan peradaban Islam mencapai puncaknya termasuk
kajian tentang sastra pada masa ini juga mengalami perkembangan, hal itu
dikarenakan beberapa faktor, diantaranya adanya dukungan dari pemerintah untuk
mengembangan kegiatan intelektual, salah satu bentuk apresiasi pemerintah
adalah dengan di dirikannya lembaga penerjemahan Darul Hikmah. Namun hal
lain yang perlu dicatat ialah bahwa pada masa ini banyak terjadi kekeliruan
berbahasa di tengah masyarakat akibat pergumulan yang kuat bangsa Arab dengan
bangsa ‘Ajam (non Arab).
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan
terjadi perkembangan dunia sastra pada masa dinasti abbasiyah, meskipun bahasa
pada masa ini mengalami kemunduran karena secara social terjadi kemajemukan
dalam struktur masyarakat, sehingga gharizah(watak) kebahasaan bangsa arab
mengalami kemunduran, namun dalam secara global sastra pada masa ini juga
mengalami kemajuan sebagaimana keilmuan lainnya, terdapat beberapa factor yang
mempengaruhi perkembangan tersebut, yaitu :
- Politik
Ketika Daulah Abasiyah memegang tampuk
kekuasaan tertinggi islam, terjadi banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat,
pada porsi tertentu antara politik dan sastra saling mempengaruhi. Pergeseran
paling fundamental terjadi ketika pusat kekuasaaan dipindahkan dari Damaskus
dengan tradisi arab kental ke Baghdad dengan tradisi Parsinya. Pada masa ini
seluruh sistem pemerintahan dan kekuasaan politik dipengaruhi peradaban
Sasaniyah Parsi dimana khalifah berkuasa mutlak dan memimpin seluruh struktur
pemerintahan mulai dari menteri, pengadilan, sampai panglima prajurit.
Puncak kekuasaanpun tidak lagi terbatas
pada keturunan arab. Kondisi politik seperti ini sangat mungkin memepengaruhi
perkembangan aktivitas sastra ketika itu, karena para syua’ra adalah
orang terdekat khalifah di lingkungan istana setelah menteri dan struktur
pemerintah lainnya.
2. Sosial kemasyarakatan
Di saat terjadi perpindahan kekuasaan dari
Umayyah ke Abbasiyah, wilayah geografis dunia islam membentang dari timur ke
barat, meliputi Mesir, Sudan, Syam, Jazirah Arab, Iraq, Parsi sampai ke Cina.
Kondisi ini mengantarkan terjadinya interaksi intensif penduduk setiap daerah
dengan daerah lainnya. Interaksi ini memungkinkan proses asimilasi budaya dan
peradaban setiap daerah. Nyanyian dan musik menjadi tren dan style kehidupan
bangsawan dan pemuka istana era Abbasiyah. Anak-anak khalifah diberikan les
khusus supaya pintar dan cakap dalam mendendangkan suara mereka.
Seniman-seniman terkenal bermunculan pada masa ini diantaranya Ibrahim bin
Mahdi, Ibrahim al Mosuly dan anaknya Ishaq. Lingkungan istana berubah dan
dipengaruhi nuansa Borjuis mulai dari pakaian, makanan, dan hadirnya
pelyan-pelayan wanita. Dalam sebuah riwayat disebutkan Harun ar-Rasyid memiliki
seribu pelayan wanita di istananya dengan berbagai keahlian.
Pengaruh budaya seperti ini berkembang
tidak di seluruh negeri tapi hanya di lingkungan istana dan petinggi-petingi
negara, adapun masyarakat umum berada dalam beragam kondisi perubahan sosial,
bahkan dari kelas masyarakat umum muncul gerakan menentang perilaku dan tradisi
jahili yang berkembang di lingkungan istana dikenal dengan nama “Harakah al
Zuhd“.
3. Intelektual dan pengetahuan
Faktor lain berkembangnya peradaban di era
Abbasiyah ditandai dengan bergeliatnya aktivitas intelektual masyarakat islam.
Kegiatan intelektual seolah-olah menjadi makanan wajib. Kondisi ini dipengaruhi
terbukanya pintu intelektual islam dengan masyarakat dunia lainnya. Pemerintah
sangat mendukung semua aktivitas keilmuan hal itu di realisasikan dengan
pendirina pusat penterjemahan literatur asing ke Bahasa Arab. Al-Mansur adalah
khalifah pertama menggiatkan aktivitas astronomi dan menetapkan kegiatan kerja
kerajaan mengacu pada hukum-hukum astronomi. Abu Ja’far al Mansur juga khalifah
pertama yang menerjemahkan literatur asing ke bahasa arab diantaranya
karya-karya Aristoteles, buku Sanad India dan berbagai literatur lainnya.
Bait al-Hikmah di masa Harun al-Rasyid
telah menjadi pustaka dunia yang menyimpan beribu-ribu literatur asing Romawi,
Yunani, Parsi dan India kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa arab. Kemajuan
ini diikuti dengan lahirnya ribuan Ulama dan sastrawan. Baghdad berubah menjadi
mercusuar peradaban dan tujuan cendikiawan dan pencari ilmu dari seluruh
pelosok negeri. Kita kenal Khalil bin Ahmad al Farahidy sebagai peletak
pertama Mu’jam Lughawy dengan kitabnya Mu’jam al
‘Ain. Dalam ilmu Fiqh, lahir Abu Hanifah, Malik bin Anas, al-Syafii, dan
Ahmad bin Hanbal. Dalam kajian sejarah, Ibnu Sa’ad dengan karyanya al
Tabaqat al Qubra,Akhbar al Khulafa’. Pendek kata semua lini keilmuan
mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Faktor politik, sosial dan arus
intelektualisme yang tumbuh dan berkembang pesat sudah tentu mempengaruhi
aspek-aspek penting dalam kehidupan sastra masa itu. Khususnya dalam Syair,
setidaknya dikenal dalam literatur Adab Abasiyah
bermacam-macamAgrad (tujuan/orientasi) syair, seperti al
Madah (pujian), al Hija’ (sindiran), al
Fakhr (pengagungan), ar Rasa’ (ratapan), al
Ghazal(rayuan), al Wasfy (pensifatan), az Zuhd (zuhud), al
‘Itab wa al ‘Itizar (teguran dan pembelaan), as Syi’ry al
Ta’limy (sya’ir pengajaran),as Syi’ry al Fakahy (sya’ir humor).
Pengaruh kebudayaan asing yang hadir dan masuk dalam sastra arab diantaranya
buku al Maydan karya Ulan as Sya’uby al Faris, sebuah karya sastra
hasil asimilasi dua peradaban besar Arab dan parsi.
Diantar a Syu’ara’ terkenal
yang dilahirkan dari rahim peradaban besar ketika itu diantaranya Basyar bin
Bard, Abu Nawas, Marwan bin Abi Hafshah, Abu ‘Atahiyah, Muslim bin Walid,
Abdullah bin Marwan bin Zaidah, Muhammad bin Hazim al Bahily dan ribuan
sastrawan lainnya.
Lingkungan sosial dan intelektual yang
dinamis dalam peradaban dan khazanah keilmuwan islam telah mengantarkan
perkembangan pesat dalam dunia sastra, tidak saja Syair yang menjadi
konsentrasi para aktivis sastra namun juga retorika dalam pidato kenegaraan
maupun khutbah Jumat. Pendeknya semua aktivitas intelektual mendapatkan posisi
strategis dan berkembang sangat baik dan dinamis pada masa itu.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah adalah
melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena
para pendiri dan penguasa Dinasti ini adalah keturunan Abbas, paman nabi
Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad
ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbass. Dia dilahirkan di Humaimah pada tahun 104
H. Dia dilantik menjadi Khalifah pada tanggal 3 Rabiul awwal 132 H. Kekuasaan
Dinasti Bani Abbasiyah berlangsung dari tahun 750-1258 M.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya.
Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan
agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat
tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun
dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Terdapat pula beberapa faktor yang menyebabkan perkembangan sastra pada masa dinasti abbasiyah yaitu, politik, sosial
masyarakat, intelektual dan pengetahuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar